lari-jauh

cw // nightmare

cowok manis itu tersentak dari tidurnya sudah dengan air mata yang ngalir di kedua pipi. pikiran chenle kembali melayang ke mimpi buruknya–mungkin paling buruk yang pernah hadir. tangisan yang seingatnya dia tumpahin di mimpi kembali dia keluarin kuat-kuat.

chenle bungkam mulutnya kuat-kuat pakai boneka ketika dia ingat kalau hari sudah malam, takut-takut malah ngebangunin siapapun yang dengar.

“giovana.”

panggilan dari suara familiar yang hampir dia dengar setiap hari itu ngebuat tangisan chenle makin keras. semoga pagi nanti suaranya nggak habis karena nangis sekeras ini. chenle takut ngebangunin orang di luar kamarnya tapi dia lupa kalau yang lagi dia tangisin lagi tidur di sebelahnya.

“giovana, duduk. hei jangan ditutupin gitu nanti sesak,” ujar jisung sambil narik pelan boneka yang nutupin wajah chenle.

“gumelar,” panggil chenle di tengah tangisannya.

wajah chenle yang sudah bisa dilihat jelas itu jisung usap lembut, “iya, gumelar ini gumelar. duduk yuk? duduk dulu.”

dengan napas tersengal dan tangisannya yang nggak kunjung reda akhirnya chenle berhasil duduk.

“gumelar,” panggil chenle lagi.

“iya, gum ini,” balas jisung. kedua tangan chenle dia bawa untuk nangkup kedua pipinya. “gumelar ini gumelar di sini,” ujarnya.

chenle benturin dahinya di bahu cowok di depannya. baru dapat mimpi aja nangisnya sudah sekencang ini, gimana kalau tiba-tiba dunia memang maksa mereka harus pisah atau salah satunya memang mutusin buat nyerah kayak yang ada di mimpi chenle tadi.

“nggak boleh pergi! please, jangan! gue takut!” seru chenle sembari meluk leher jisung erat.

“nggak, nggak pergi. gue di sini terus,” balas jisung. rambut berantakan chenle dia usap juga pinggang cowok itu direngkuhnya erat.

“maaf maaf maaf,” lirih chenle.

jisung beri kecupan ringan di kepala dan leher chenle, “iya giovana...”

“takut,” lirih yang lebih tua lagi.

senyum kecut jisung kembangkan sebelum ngasih respon ke chenle, “iya, gum di sini.”

usapan di pinggang dan kecupan yang jisung beri perlahan ngebuat chenle bisa lebih tenang. perlahan jisung angkat tubuh yang lebih pendek ke gendongannya. selimut yang jatuh dari kasur juga dia ambil. langkahnya berlalu ke balkon kamar chenle, mutusin ke sana supaya chenle bisa dapat lebih banyak nyaman.

jisung posisiin tubuhnya dengan nyaman sebelum nutup tubuh keduanya dengan selimut. kedua tangannya meluk erat tubuh chenle dan dagunya dia tumpuin di kepala yang lebih tua.

angin malam yang berhembus ngasih hawa tenang untuk keduanya. tangisan chenle mulai reda setelah beberapa saat.

gummy,” panggil chenle setelah tangisannya berhenti.

“bi bi,” balas jisung sambil ngusak hidung keduanya pelan.

“gue pusing,” gumam chenle.

“iya lah nangis kayak gitu gimana nggak pusing coba?” balas jisung.

“guguk,” umpat chenle pelan. helaan napas kasar dia hembusin kemudian naruh pipinya di pundak jisung.

“kadang gue ngerasa aneh. kenapa gue nggak bisa lari ke orang-orang yang seharusnya gue jadiin tumpahan rasa? kenapa selalu elo?” tanya chenle pelan.

“karena gue yang bareng lo terus, bukan sombong ya. gue juga demikian, sama aja kita mah,” jawab jisung.

“lo jelek,” ucap chenle.

“soalnya abis panik tiba-tiba babi gue nangis padahal udah tidur,” kata jisung sambil ngelirik cowok di pangkuannya sekilas.

i'm sorry, baby,” ujar chenle.

jisung usap air mata yang masih ada di pipi chenle, “nggak papa, mimpi buruk ya?”

“iya, jelek,” jawab chenle. dia tautin jarinya dan jari jisung, “jangan pergi ya?”

jisung kecup lembut punggung tangan chenle, “gue usahain, oke?”

“iya,” balas chenle.

“minum yuk? tenggorokan lo kasian,” ajak jisung sambil berdiri dari duduknya. selimut yang mereka pakai cuma dia taruh di kursi balkon kemudian kakinya mulai ngelangkah ninggalin kamar chenle.

thank you ya gum,” gumam chenle.

my pleasure.”

—j.

written in lowercase, bahasa indonesia, non-baku cw // harsh word

good morning!” seru chenle ketika dia lari dari pintu depan ke arah gerbang.

morning!” balas jisung yang sudah siap dengan rentangan tangannya nyambut yang lebih pendek pagi ini. dia teriak pelan waktu chenle nerjang tubuhnya dan langsung direngkuh erat. “happy valentine, gue sayang lo,” ujar jisung sembari ngusak hidungnya di rambut chenle.

“sayang gum juga,” balas chenle. “mana tulip gue?” tanya chenle setelahnya–nagih bunga yang sudah dia minta semalam.

“nanti sore lah,” jawab jisung. cowok jangkung itu kemudian ngelepas rengkuhannya di pinggang chenle, “naik gih.”

“gue sekalian depan aja deh,” ujar chenle sembari ngambil helmnya.

“silakan paduka,” kata jisung setelah turun dari motornya.

“salah siapa suruh jual motor gue,” kata chenle. cowok itu kemudian naik ke motor sang sahabat–ngambil alih kemudi buat hari ini.

“diem ah babi nggak usah dibahas,” balas jisung kesal.

“naik,” perintah chenle sambil makai sarung tangannya.

“asik diboncengin si ganteeng!” seru jisung.

chenle ngedecih pelan, “halah, deg-degan kan lo sekarang?”

“diem. jalan aja.”

chenle ngedengus geli kemudian ngejalanin motor jisung setelah cowok yang lebih tinggi itu sudah duduk di boncengan motor.

hening selama perjalanan, nggak ada yang bersuara untuk mulai satu percakapan. chenle fokus di jalan sedangkan jisung fokus mainin perut sahabatnya.

“sakit monyet,” umpat chenle sambil mukul tangan jisung yang sedaritadi nggak berhenti buat nyubitin perutnya.

“perut lo gemes bi,” ujar jisung. tangannya nepuk perut chenle beberapa kali sebelum ngeganti kegiatannya dengan ngetuk-ngetuk tangki bensin motornya.

“gemes gemes ya jangan dicubitin gitu anjing. sakit,” protes chenle sembari ngelanjutin perjalanan yang sempat berhenti karena lampu merah. yang diprotes cuma ketawa kecil ngerespon sahabatnya.

love you,” celetuk jisung.

“nggak ada love you love you-an bangsat,” balas chenle jengkel.

“valentine buat lo mah bukan hari kasih sayang tapi kesempatan buat malak, ya nggak?” sarkas jisung.

“nggak sih, gue kan malakin lo setiap hari,” balas chenle.

“bener juga. agak anjing,” umpat jisung.

“turun,” perintah chenle ketika mereka sudah sampai di tujuan.

“bi lo buru-buru nggak?” tanya jisung.

“nggak, kenapa?” jawab chenle.

“tungguin gue dong, nunggu si sungchan dulu,” pinta jisung. “tunggu parkiran aja,” lanjutnya.

“manja,” ejek chenle. “SAKIT GUMELAR!” teriaknya waktu tiba-tiba perutnya kembali dicubit.

“masuk,” perintah jisung yang langsung dituruti chenle.

“pemaksaan,” ujar chenle setelah dia nempatin motor hitam itu di parkiran.

“bentaran doang,” kata jisung sambil turun dari motornya. setelah ngelepas helmnya dia langsung ngambil hape dan fokus ke benda balok itu. sedangkan yang masih di atas motor cuma mandangin wajah sahabatnya sambil ngerapiin rambut jisung yang agak berantakan.

“kumis lo cukur anjir, risih,” kata chenle sambil ngangkat pelan dagu jisung.

“kemarin lupa,” balas jisung. hapenya dia masukin lagi ke kantong jaket dan fokus ke arah sahabatnya.

“eh gue cookie monster-nya cuma bikin sedikit nggak papa kan?” tanya chenle sambil nyingkirin kotoran dari pangkal mata jisung.

jisung ngangguk pelan, “buat gue semua kan?”

“ngelunjak banget lo,” kata chenle. bibir tebal yang lebih muda dia tarik gemas.

“daripada ditarik-tarik mending dicium aja,” ujar jisung. kepalanya dia bawa lebih dekat ke wajah chenle yang cuma kelihatan bagian matanya.

chenle mukul pelan bibir sahabatnya, “noh ciuman lo.”

“jahat,” gumam jisung. dia ngetuk pelan helm yang masih chenle pakai, “lepas deh helmnya, nggak engap apa?”

“nggak, males nanti make lagi,” jawab chenle.

“NINUNINUUU YANG NGGAK PUNYA STATUS NGGAK BOLEH MESRA-MESRA! PAMALIIII!” teriak seseorang dari atas motor yang baru aja masuk ke tempat parkir.

“pamali gimana deh?” gumam chenle.

“nggak tau tuh orang gila,” balas jisung.

“perasaan yang nggak ada status elo deh chan,” kata chenle waktu sungchan–oknum yang teriak nggak tau malu tadi–markirin motornya tepat di sebelah jisung berdiri.

“lah kalian jadian?” tanya sungchan bingung.

“kagak lah, kan kami sepasang sahabat unch unch,” jawab jisung.

“yhaa cuma temen! yhaa cupuuu!” ejek chenle.

“ngasih apa nih ke ayang?” tanya jisung ikutan ngejek sungchan.

“kayaknya sih cuma gombal-gambil karena nggak modal,” sahut chenle.

“HEH!” teriak jisung waktu helm sahabatnya dipukul sungchan keras. refleks jisung ikut mukul kepala sungchan yang untungnya juga masih ketutup dengan helm. “stres lo anjing,” umpat jisung.

“curang lo bawa pawang,” protes sungchan ke arah chenle.

“sakit anjing!” seru chenle.

“yaudah sama!” balas sungchan nggak kalah keras. “nyebelin banget kalian,” kesal sungchan. cowok jangkung itu kemudian turun dari motornya kemudian langsung ninggalin jisung dan chenle setelah ngelepas helmnya.

“dih pundung...” gumam chenle.

“emang lagi galau tu bocah,” kata jisung. helm yang awalnya ditaruh di boncengan motornya dia pindahin ke motor sungchan.

“lagian kenapa nggak ditembak-tembak deh kak taronya?” tanya chenle.

jisung ngedikin bahunya, “ragu katanya.”

“ngerasa bersalah dah gue,” ujar chenle.

“gue duluan ya,” pamit jisung.

“iya, semangat belajarnya,” balas chenle sambil nepuk pipi jisung beberapa kali. “nanti gue beres langsung jemput lo,” lanjutnya.

“iya, semangat hari ini. gue duluan, bi,” pamit jisung lagi sebelum akhirnya berlalu dari parkiran.

chenle langsung ngeluarin motor dari himpitan motor lain setelah jisung pergi. nggak lama dia mulai ngelajuin motornya keluar dari area kampus jisung untuk pergi ke kampusnya sendiri.


“bi bi biii babiiii!” seru jisung sore ini.

chenle selesai lebih dulu dan langsung jemput sahabatnya kayak yang sudah dia bilang. dia nungguin jisung sebentar di parkiran sebelum akhirnya cowok jangkung itu selesai kelasnya hari ini.

“banyak orang, bego!” seru chenle. untung wajahnya masih ketutup sama helm full face yang daritadi nggak dia lepas. “kucel banget lo, mana kumisan gitu,” ujar chenle waktu jisung sampai di sebelahnya.

“biarin,” balas jisung singkat.

“depan dong, gue capek,” kata chenle sembari turun dari motor yang dia kendarain seharian ini.

“kak ven!” panggil seseorang yang langsung jisung sapa balik. setelah itu sapaan untuk jisung dan chenle beruntun mereka terima.

“kak ji! ko le!”

“ji! eh hai chenle!”

“eh halo kak lee! kak ji!”

“ji! le!”

“ven!”

“anjing, untung pake helm,” gumam chenle.

“dasar,” gumam jisung sambil noyor kepala chenle. sahabatnya itu paling malas kalau harus senyum waktu nanggapi sapaan orang padahal dia lagi capek banget.

“lo kenapa harus dikenal sana-sini deh?” tanya chenle kesal. setelah jisung naik ke atas motornya chenle langsung nyusul naik ke boncengan motor hitam itu.

“emang kenapa?” tanya jisung.

“soalnya gue kan nempel lo terus, otomatis yang kenal lo kenal gue juga,” jawab chenle.

“ya makanya nggak usah nempel-nempel,” kata jisung.

chenle ngerotasiin bola matanya jengah, “ngomong sama diri lo sendiri.”

“udah lunch?” tanya jisung ngalihin topik percakapan.

chenle ngegelengin kepalanya, “belum.”

“mukbang di kuburan yok,” ajak jisung.

“kepala lo goyang,” umpat chenle sambil mukul helm jisung lumayan keras. ya dipikir aja masa mukbang di kuburan. kan nggak lucu nanti pulang-pulang ada yang bonceng karena marah sama mereka.

“bercanda anjing! nanti pulang dari vano aja beli makan,” ujar jisung.

“nah gitu. ayo jalan,” perintah chenle. pundak sahabatnya dia tepuk pelan.

“siap, bos.”

setelahnya jisung mulai ngelajuin motornya ninggalin parkiran kampus. sebelum ke makam leo mereka berhenti di toko bunga langganan keluarga keduanya untuk ngambil bunga pesanan jisung semalam.

yours,” ujar jisung sembari nyerahin satu buket bunga yang chenle minta.

“makasiih!” balas chenle girang. buket bunga itu langsung dia terima. “agak aneh nggak sih? beberapa kali bunga yang gue mau selalu ada walaupun pesennya baru malemnya,” katanya.

“yang kemarin-kemarin emang kebetulan. yang ini nggak,” kata jisung.

“gimana?” tanya chenle.

“gue udah pesen dua minggu yang lalu, biii,” jawab jisung.

chenle ngerutin dahinya bingung, “hah?”

“waktu itu kan gue pinjem hape lo mau minta kontaknya ayen waktu lo ke toilet. lo nya lagi buka pint pake keyword white tulips, yaudah gue pesenin buat valentine aja,” jelas jisung.

“aduh so sweet,” ejek chenle.

“anjing lo ya,” umpat jisung yang langsung direspon tawa sama chenle.

“peluk,” ujar chenle setelah ngelepas helmnya.

“akhirnya dilepas. anjing, gue pengen cium dahi lo belum keturutan dari pagi,” protes jisung sambil ngerengkuh kepala sahabatnya erat. pelipis yang lebih tua dia kecupi gemas.

“aaa bunga gue!” seru chenle panik sambil berusaha nyingkirin buket bunga dari antara tubuhnya dan tubuh sang sahabat. jisung yang kaget juga otomatis ngelepas rengkuhannya dari tubuh yang lebih tua.

“nyebelin,” ujar chenle sambil natap nyalang sahabatnya.

“idih, itu buket gue yang beli maaf-maaf aja nih kak,” balas jisung.

chenle ngedengus pelan kemudian makai helmnya lagi, “udah ah ayo buru, nanti keburu maghrib. sebentar aja deh soalnya kesorean.”

thank you,” ujar chenle sambil ngusak rambut sahabatnya.

my pleasure,” balas jisung. “pegangin dulu punya vano,” pintanya sebelum naik ke atas motor.

“biasanya kita tuh ngapain sih kalau valentine bertiga?” tanya chenle waktu jisung sudah ngelajuin motornya ke tujuan mereka selanjutnya.

“ngapain ya? tuker cokelat? pernah seharian di rumah soalnya libur, netflix,” jawab jisung.

“oh iya, pengen cokelat gum?” tanya chenle.

jisung ngegelengin kepalanya, “nggak. lo udah bikin kukis gitu.”

“ya sudah.”

nggak lama keduanya sampai di tempat peristirahatan terakhir leo. nggak banyak omong mereka langsung pergi ke makam leo karena sudah petang dan hampir maghrib jadi mereka harus buru-buru.

happy valentine, manis,” ujar jisung sambil naruh buket bunga di atas makam leo.

“gue manis juga nggak?” celetuk chenle.

jisung ngedengus geli kemudian nekan kedua pipi chenle gemas, “nggak boleh cemburu sama kembaran sendiri.”

i'm not,” sanggah chenle. dia kemudian ngedudukin tubuhnya di samping nisan leo.

“nanti mau makan apa, bi?” tanya jisung sambil duduk di samping sahabatnya. tangannya mulai nyabutin rumput-rumput liar yang mulai tumbuh di atas makam leo.

“bi?” panggil jisung waktu sahabatnya bergeming. “bi nggak kesurupan kan lo?” tanya jisung sambil narik dagu chenle untuk ngehadap ke arahnya.

“sadar kan?” tanya jisung lagi.

“iya,” jawab chenle pelan. wajahnya kemudian dia tenggelamin di dada jisung. “aleo kenapa ngangenin sih, malesin,” gumam chenle.

“ya kalau lo nggak kangen malah aneh lah, van. gue bareng dia cuma tiga tahun aja sering kangen, apalagi lo yang hidup bareng leo tujuh belas tahun,” balas jisung. tangannya nepuk-nepuk punggung sahabatnya, ngasih nyaman di sore ini.

chenle ngehela napasnya kasar, “nyebelin aaa...”

“udah yuk? mau ngomong apa lagi?” tanya jisung.

“nggak ada,” jawab chenle sambil ngejauhin tubuhnya dari tubuh jisung. “kumis lo cukur habis ini!” seru chenle jengkel waktu jisung ngecup pipinya.

“benci banget sama kumis gue kenapa sih lo?” tanya jisung.

“ya lo suka nyiumin gue, geli tau kalau lo kumisan gini,” jawab chenle.

“ya ya ya,” ujar jisung malas. cowok jangkung itu kemudian bangun dari duduknya. “ayo pulang,” ajak jisung.

“males pulang,” ujar chenle

“ayo makan, gue lapeeer!” rengek jisung sambil narik paksa tangan sahabatnya.

chenle ngedecih pelan sebelum bangkit dari duduknya, “bilang aja mau cookie-nya.”

“nah itu juga termasuk, ayoo!”

“bocaah!”

“lo bocah!”

“leo bocah.”

“leo bocah, tujuh belas taun terus dia.”

“astaga bercandaannya...”


sekitar pukul tujuh malam, keduanya baru sampai ke tujuan teakhir mereka hari ini. jisung dan chenle tadi sudah makan di salah satu restoran padang sebelum akhirnya pulang.

“cukur gum,” ingat chenle saat mereka masuk ke dalam kamar yang lebih tua.

“entaran,” balas jisung. tubuhnya dia lempar ke sofa yang ada di kamar chenle.

“nggak mau. lo cukur sendiri atau gue yang cukurin? pilih. gue risih,” tawar chenle dengan nada tegasnya. kalau bisa dia cukur kumis tipis sahabatnya itu dari pagi sudah pasti dia bakal lakuin. masalahnya tadi pagi sewaktu jisung jemput dia, chenle nggak sadar sama sekali kalau wajah sahabatnya itu sedang dihiasi kumis tipis.

“cukurin sini kalau udah risih banget, gue capek,” jawab jisung akhirnya.

“gue mandi dulu deh,” ujar chenle. setelah ngambil baju dan handuk, cowok itu langsung masuk ke kamar mandi ninggalin jisung yang mungkin bakal tidur beberapa saat lagi di sofa.

beberapa menit kemudian chenle yang sudah selesai mandi keluar sambil bawa shaving cream dan alat cukurnya.

“bangun gum. duduk,” perintah chenle ke sahabatnya.

“capek,” gumam jisung sembari ngedudukin tubuhnya. tangannya langsung narik pinggang cowok di depannya.

“ck awas, bangsat,” umpat chenle sambil mukul tangan sahabatnya.

“pangku aja sini,” kata jisung sambil narik pinggang chenle lebih dekat.

clingy banget kenapa sih?” tanya chenle pelan sambil duduk di pangkuan jisung.

“capek bi,” jawab jisung pelan. “kukisnya belum lo panggang ya?” tanya jisung.

“belum, kenapa?” jawab chenle.

“besok aja bisa nggak sih? gue pengen tidur,” ujar jisung.

“ya udah tidur aja habis mandi. kukisnya buat gue semua,” kata chenle sambil ngolesin shaving cream ke area sekitar mulut sahabatnya.

“MANA BISA GITU!” teriak jisung.

“berisik anjing, diem.”

tangan chenle gesit nyukur kumis tipis milik sahabatnya.

“capek banget?” tanya chenle.

“masih standar tapi ngantuk banget anjir, nggak ngerti gue kenapa sengantuk ini padahal masih jam tujuh,” jelas jisung.

“mau kopi?” tanya chenle. sisa shaving cream yang ada di wajah jisung dia bersihin pakai tisu. mata sipit yang sekarang ketutup itu dia kecup lembut.

“nggak, nanti nggak bisa tidur,” jawab jisung. “udah?” tanyanya.

chenle ngangguk pelan, “udah.”

thank you, baby,” ujar jisung sembari ngebuka kedua matanya.

“mandi sana. nanti ke bawah, gue mau panggang kukisnya,” perintah chenle sambil bangkit dari pangkuan sahabatnya.

“nggak usah mandi ya...” gumam jisung sambil ngerebahin tubuhnya lagi.

“biar melek,” balas chenle. “sana cepet. perasaan lo masih seger tadi, gue rasa ketempelan lo waktu di leo,” lanjutnya.

“mandi, awas aja kalau gue sampe selesai lo belum mandi.”

“iya baeee! sana sana hush hush!” usir jisung.

waktu chenle sudah keluar jisung malah mejamin matanya dan langsung tidur di sofa kamar. sekitar dua puluh menit kemudian akhirnya jisung bangun. cowok jangkung itu langsung ngambil baju dan handuk kemudian masuk ke kamar mandi. nggak lama jisung keluar dan langsung nyusul sahabatnya di dapur.

“tidur lagi pasti,” kata chenle waktu dengar kursi di meja makan ditarik.

“ngantuk van, sumpah,” balas jisung. kepalanya dia taruh di meja sambil natap chenle yang sekarang lagi fokus merhatiin oven.

“sini aja deh,” perintah chenle sambil narik satu kursi di sampingnya. tanpa protes jisung langsung pindah tempat ke samping sahabatnya itu. “ngantuk banget ya?” tanya chenle lagi sambil nyibak poni jisung. yang ditanya cuma ngangguk pelan.

“coba matanya dibuka itu depan lo ada apa. mumpung masih anget,” kata chenle. cowok itu kemudian berdiri buat ngeluarin kukis yang baru matang di oven.

“uuuu...” gumam jisung sambil matahin kukisnya jadi dua bagian. chenle yang dengar gumaman sahabatnya langsung nolehin kepalanya kemudian ketawa karena ekspresi senang dan ngantuk di wajah jisung kecampur jadi satu.

“eh anjir bunga gue!” seru chenle setelah masukin adonan kukisnya yang lain ke oven.

jisung merhatiin yang lebih tua lari cepat ke atas sambil terus makan kukis yang ada di tangannya. nggak lama chenle balik ke dapur dengan buket bunga di tangannya. cowok itu buru-buru ngambil vas bunga dan diisi dengan air.

“enak?” tanya chenle sambil ngebongkar buket bunganya. dia masukin satu persatu tangkai bunga yang ada ke dalam vas.

“enak,” jawab jisung pelan.

“mata lo merah. sengantuk itu?” tanya chenle. vas bunga yang sudah berisi tulip putih dan beberapa tangkai bunga baby's breath itu dia taruh di meja bar.

“iya. jadwal tidur gue berantakan banget, kadang insom kadang jam segini udah ngantuk banget. pusing gue,” jawab jisung kemudian masukin potongan terakhir kukisnya.

“habis ini tidur,” kata chenle sambil ngedudukin tubuhnya kembali di tempat semula.

“enak,” ujar jisung. kukis yang baru dia potong lagi itu dimasukin ke mulut chenle.

“apasih lucu banget kalau ngantuk,” kata chenle sambil nekan kedua pipi jisung. dia ngelap sudut bibir jisung yang kotor karena cokelat. “gini kan ganteng nggak ada kumisnya,” ujar chenle.

“padahal banyak yang suka kalau cowok kumisan,” kata jisung.

“ganteng doang nggak guna. belum ngerasain diciumin sama orang kumisan pasti,” ujar chenle.

“enak kan, ada sensasi lainnya,” gurau jisung.

chenle ngedengus, “hilih.”

“peluk bi,” kata jisung. tangannya dia rentangin dan langsung disambut oleh chenle.

thank you buat tulipnya,” kata chenle. tangannya ngusap lembut tengkuk sahabatnya. “happy valentine, gue sayang lo,” lanjutnya.

my pleasure, makasih juga cookies-nya. selalu enak buatan lo mah,” balas jisung. “eh bi, itu yang di oven berapa lama?” tanya jisung.

“oh iya,” kata chenle. cowok itu kemudian berlalu untuk ngeluarin kukisnya dari oven. “tidur sana, semuanya udah mateng,” kata chenle.

jisung ngegelengin kepalanya, “nanti aja masih kuat gue.”

“terserah,” ujar chenle. dia kembali naruh piring berisi kukis di depan sahabatnya, “loyangnya besok pagi aja deh gue cuci.”

“pengen susu deh. ada nggak bi?” tanya jisung sembari jalan ke arah kulkas.

chenle ngangguk samar, “ada. ambil deh, sama gelas dua dong tolong.”

“coklat?”

“iya.”

“beneran nggak mau tidur sekarang? mau ngapain emang?” tanya chenle waktu jisung naruh satu kotak susu dan dua gelas di meja.

how was your day ?”

pertanyaan simpel dari jisung yang jadi pemula percakapan tanpa ujung mereka malam ini. mulai cuma ada piring berisi kukis dan gelas susu sekarang nambah jadi ada beberapa bungkus camilan yang juga mereka buka. mulai dari lampu ruang tengah yang masih nyala terang sampai cuma lampu di atas meja bar yang ngasih cahaya di dalam rumah. dari yang mata jisung cuma bisa kebuka separuh dan sekarang sudah hampir tengah malam mata cowok jangkung itu malah kebuka makin lebar.

“nggak jadi ngantuk lo?” tanya chenle sambil ngusap lembut mata sipit sahabatnya.

“suara lo sayang kalau ditinggal tidur,” jawab jisung.

“aduh aku meleleh.”

“sini aku taruh ke baskom.”

“orang gila.”

“lo gila.”

escape.

apa pelarian terbaik untuk jisung dan chenle? lari kepelukan masing-masing jawabannya. dengan malam dingin teman sejati tangisan mereka. tidak ada yang bisa menandingi menangis tanpa arah, tidak berucap sepatah kata, dan dengan lengan salah satu melingkar erat di pinggang sebagai tempat lari dari lelah.

tempatnya sedikit berbeda kali ini, bukan di balkon kamar chenle maupun di sudut kamar jisung. ini ide jisung yang baru datang di rumah chenle dan langsung memerintah sahabatnya itu untuk naik ke punggungnya.

“ngapain gum?” tanya chenle bingung ketika jisung memakaikan jaket ke tubuhnya. dia sedang melamun, hampir menangis tapi diganggu pemuda jangkung itu.

“jalan-jalan ayo. ke indoapril depan, beli cemilan,” jawab jisung yang sudah menundukkan tubuhnya di sebelah chenle.

karena mood-nya yang memang sudah buruk jadilah chenle langsung mengiyakan ajakan dari jisung. pemuda manis itu langsung naik ke punggung jisung dan menyamankan posisinya.

“gumelar,” panggil chenle pelan. keduanya sudah berada di luar rumah sekarang. jisung juga sudah mulai berjalan meninggalkan rumah sang sahabat.

yang dipanggil menolehkan kepalanya menatap wajah chenle dari samping, “kenapa?”

“capek,” jawab chenle. pandangannya masih menatap lurus ke arah depan. dirinya tidak peduli bahwa faktanya jisung malah melangkahkan kaki menjauh ke arah yang berbeda dari tempat yang menjadi tujuan mereka.

jisung tidak merespon jawaban dari sang sahabat. pemuda itu membiarkan yang ada digendongan untuk berbaur dengan emosinya sendiri.

“capek,” lirih chenle lagi. dia merengkuh leher jisung lebih ketat dan membenamkan wajahnya di bahu jisung. tangisan chenle terdengar kembali malam ini dan jisung kembali abaikan itu.

ya memang tujuan mereka hanya untuk cipta rasa nyaman bukan cari solusi untuk masalah. mereka sama-sama lemah kalau boleh bilang. rasanya omong kosong kalau salah satu mendorong untuk lebih baik padahal dirinya sendiri tidak bisa lebih baik. tidak ada gunanya bersembunyi bagi mereka, sudah terlalu mengenal katanya.

tangisan yang lebih tua terus terdengar sampai seperempat perjalanan terlewati. jisung memang mengambil jalan memutar, memilih untuk sampai lebih lama demi mendapat sepi.

jisung menolehkan kepalanya sekilas untuk melihat keadaan sahabatnya.

“sudah?” tanya jisung.

“iya sudah,” jawab chenle sambil mengangkat kepalanya. dia mengusap wajahnya kasar untuk menyingkirkan air mata yang membasahi pipi.

thank you,” ujar jisung.

“kenapa?”

“nangisnya sama gue,” jawab jisung sambil menyunggingkan senyum tipisnya.

chenle terkekeh pelan, “nangis di rumah sendiri lebih lega.”

“van,” panggil jisung. yang dipanggil membalas dengan gumaman singkat. “kata orang, zona nyaman itu dibangun bukan dicari. kalau dibangun lo bakal punya hak penuh buat nendang orang brengsek yang masuk karen itu zona lo. bukan lonya yang keluar,” kata jisung.

“emang iya,” ujar chenle sambil meletakkan dagunya di kepala jisung.

“tapi gimana kalau zona nyaman itu dibangun sama dua orang? yang punya hak siapa?” tanya jisung.

“dua-duanya,” jawab chenle. “tapi nggak mungkin ada yang masuk sih. mereka cuma punya mereka, ngapain percaya orang lain? sebelum ditendang sudah nggak bisa masuk,” lanjutnya.

keduanya tertawa pelan mendengar perkataan chenle. ya benar, untuk apa orang lain? mereka tidak membutuhkan personil baru, hanya satu sama lain.

“gum, onigiri masih ada nggak ya?” tanya chenle tiba-tiba.

“abis pasti. udah malem anjir,” jawab jisung. “udah jam berapa?” tanyanya kemudian.

“jaam...” ujar chenle sambil menarik ponsel pintarnya dari saku celana. pemuda itu langsung mengecek jam yang tertera di layar ponselnya. “jam setengah dua belas lebih sedikit,” lanjutnya.

“besok berapa kelas?” tanya jisung.

“nggak tau. lupa,” jawab chenle santai.

“si goblok,” umpat jisung. yang diumpati hanya tertawa kemudian mengalihkan topik pembicaraan.

percakapan ringan mereka bawa di tengah sepinya jalanan kompleks perumahan chenle. kadang tertawa ketika ada lelucon terlontar dari salah satu. tangan chenle juga asyik memainkan rambut dan wajah jisung dari belakang.

“capek juga,” gumam jisung.

chenle langsung merengkuh leher sahabatnya kembali, “awas aja diturunin.”

dia tau kalau dirinya berat tapi masa bodoh, jisung yang menawarkan tumpangan.

“iyaa...”

“gum gum lari guum! hiyaa!” seru chenle setelah meluruskan kedua tangannya ke depan. karena mereka hampir sampai ke tempat tujuan, jisung langsung menuruti keinginan chenle.

pemuda jangkung itu membetulkan posisi chenle sekejap lalu mengambil ancang-ancang.

“hiyaa!” seru jisung sambil mulai berlari.

tawa chenle lepas karena tingkah jisung. seruan tertahan di sela tawanya juga terdengar ketika jisung melompat kecil.

“dah,” ujar jisung sambil menurunkan tubuh sahabatnya ketika keduanya sampai di tempat tujuan. dia menunduk menetralkan napas terengahnya.

chenle menunjukkan ibu jarinya dengan posisi terbalik ke jisung, “lemah.”

“lemah pala lo. sini lo pulangnya yang gendong gue,” balas jisung kesal.

“ganteng banget lo,” kata chenle setelah mencolek hidung jisung–mengalihkan topik percakapan mereka.

“hilih.”

“hehe... ayo!”

kalau nyaman mereka rusak mungkin dunia juga akan rusak.

—j.

senin sore

candra sampai ke sungai kota lebih sore dari biasanya karena ada keperluan osis yang harus dia urus. selesai memarkirkan motornya dia langsung berjalan menyusuri pinggir sungai keruh itu tanpa menatap sekitarnya.

candra berhenti mendadak ketika ada tangan yang menghalangi langkahnya.

“hm?” gumam candra bingung. kepalanya dia tolehkan untuk melihat tangan milik siapa yang menghalanginya.

“sini aja,” celetuk orang itu. candra mendengus pelan ketika sadar bahwa itu dalu.

“nggak sopan,” cibir candra sembari mendudukkan tubuhnya di samping dalu. pemuda itu melepaskan tas dari punggungnya kemudian dia lempar tepat di sampingnya.

“permen,” ujar dalu sambil mengulurkan satu batang permen ke arah candra. pemuda yang lebih pendek langsung ngeraih permen dengan rasa stroberi tersebut.

“kamu nge-stalk saya ya?” tanya candra sambil melepas jas almamaternya.

“geer,” jawab dalu.

“terus kenapa bisa dapat insta saya?” tanya candra lagi. tangannya sibuk membuka bungkus permen yang dalu berikan sembari menunggu pemuda di sebelahnya menjawab pertanyaan yang dia lontarkan.

“gabut aja,” jelas dalu.

“sudah dari tadi?” tanya candra.

“iya.”

keduanya diam setelah itu. dalu yang diam memperhatikan bangunan di depannya sedangkan candra yang masih asyik memakan permennya.

“candra?” panggil dalu.

“ya?”

can you be my friend?” tanya dalu.

why not?” balas candra. dia ngulurin telapak tangannya ke dalu, “aku nggak punya temen.”

dalu mendengus geli kemudian menepuk telapak tangan yang candra ulurkan.

“minta nomor,” kata candra sembari menyerahkan ponsel pintarnya pada dalu. yang lebih tinggi segera meraih benda itu dan berkutat dengannya beberapa lama.

candra tidak memedulikan kegiatan pemuda di sampingnya dan hanya menikmati waktu seperti dia seorang diri di sana.

“nih,” celetuk dalu sambil mengulurkan ponsel pintar milik orang yang sudah berganti status menjadi temannya itu. “kalau butuh bantuan bilang aja,” lanjutnya. candra hanya menaikkan alisnya merespon ujaran dalu dan mengambil kembali barang miliknya.

“nggak boleh jutek-jutek. kasian kalau ada orang mau deketin langsung mundur,” kata dalu dengan nada menggoda.

“kenapa kamu nggak mundur?” tanya candra.

“nggak mau. cuma jutek doang kecil, yang penting manis,” jawab dalu.

candra melirik temannya dengan ekspresi datar, “nggak jadi temenan ayo.”

“bercanda. saya kemarin nemu akun kamu karena nyari akun orang lain kok, adek saya lagi curhat tentang crush-nya yang anak osis juga,” jelas dalu tanpa diminta. yang mendengarkan hanya manggut-manggut mendengar penjelasan dalu.

“pulang jam berapa?” tanya candra.

“nggak tau. saya udah capek duduk sih sebenernya,” jawab dalu.

candra ketawa pelan dengar jawaban dari teman barunya itu, “maaf, saya ada keperluan osis tadi. saya kira kamu juga nggak bakalan datang.”

“nggak bakal lah. saya suka yang manis-manis,” balas dalu.

can you stop flirting to me, please?” tanya candra kesal setelah memutar bola matanya jengah.

kekehan gemas keluar dari bibir dali, “susah. kamu beneran manis banget, kata adek saya kamu juga manis. nggak cuma saya yang bilang.”

candra hanya bisa mendengus mendengar jawaban yang dalu lontarkan.

“enak ya punya adek?” tanya candra sambil menaikan kedua kakinya ke bangku.

“enak nggak enak sih. kadang pengen satu sekolahan biar mudah tapi nggak suka juga kalau sudah satu sekolahan,” jawab dalu. pemuda yang lain tertawa mendengarnya, nada yang dalu pakai saat menjawab pertanyaan darinya sedikit lucu.

“emang kenapa? kamu punyanya kakak?” tanya dalu.

“nggak. anak tunggal,” jawab candra.

dalu mengangguk-anggukan kepalanya, “oh... harapan satu-satunya ya?”

“itu kalau kamu main panah kamu dapet poin sepuluh,” ujar candra. tawa dari dalu terdengar keras setelah mendengar ujaran candra. karena tawa dari pemuda jangkung itu tak tunjung berhenti, akhirnya tangan candra melayang memukul pundak dalu jengkel, “apa sih?!”

“semangat ya!” seru dalu di sela tawanya. candra mendecih pelan kemudian tidak mengacuhkan seluruh suara yang dalu hasilnya di sebelahnya.

beberapa menit setelahnya tawa dari dalu reda juga. keadaan menjadi hening dan tidak ada yang berniat untuk memecahnya kembali.

langit sudah mulai gelap, candra berniat untuk meninggalkan tempat nyamannya saat jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam nanti.

“belum mau pulang?” tanya dalu.

“sebentar,” jawab candra.

“ndra, kalau butuh pelarian panggil saya aja. mau kok saya,” celetuk dalu. “capek itu normal. nggak ada salahnya ngerasa berat,” lanjutnya.

candra terkekeh pelan, “tapi saya cuma perlu belajar. gitu kata papa saya?”

“cuma hidup aja butuh energi. sekecil apapun kegiatanmu di mata orang lain, yang ngerasain lelah itu kamu sendiri bukan orang yang ngomentari,” balas dalu. “kalau papa kamu bilang gitu. yaudah, sembunyiin aja perasaan kamu. saya tau susah untuk anak buat blak-blakan soal rasanya ke orang tua. seenggaknya kamu harus punya wadah, tempat di mana kamu bisa bilang capek,” lanjutnya.

“kamu mau?” tanya candra.

“mau apa?” tanya dalu kembali.

candra melirik dalu sekilas, “mau jadi wadah saya?”

“mau. saya wadah buat banyak orang kok. tapi mungkin kamu bakal dari penuang rasa favorit saya, soalnya kamu manis.”

“terserah.”

—g & j.

'til i don't

“selamat malam,” sapa jihan segera saat motornya berhenti di hadapan sang terkasih.

cana melebarkan senyumnya, “malam jihan.”

“ke taman biasa?” tanya jihan ketika cana sedang mengenakan helmnya. cana mengangguk menjawab pertanyaan jihan sebelum naik ke boncengan motor kekasihnya.

jihan menepuk tangan cana yang melingkar di perutnya pelan kemudian mulai melajukan motornya menjauh dari rumah cana.

•••

setelah setengah jam mereka menikmati perjalanan dengan keheningan, mereka sampai di taman dekat kompleks perumahan jihan. agak mondar-mandir memang, tapi sudah biasa.

cana menghembuskan napasnya kasar bersamaan dengan pantatnya yang dia hempaskan ke ayunan.

“lumayan rame ya,” celetuk cana ketika jihan duduk di ayunan sampingnya.

“masih jam tujuh soalnya,” balas jihan.

cana mengangguk pelan kemudian mulai menggerakkan ayunan yang dia duduki.

“sekarang kenapa lagi?” celetuk jihan. kepalanya dia tolehkan memperhatikan sang kekasih yang sedang menatap orang-orang lain di sekitarnya tanpa ekspresi. “cana?” panggil jihan.

love?” panggil jihan lagi ketika kekasihnya tidak juga menaruh atensi kepadanya.

“oh eh, sorry,” ujar cana ketika lengannya disentuh pelan oleh pemuda di sebelahnya.

“kenapa?” tanya jihan lagi.

“kakak. biasa...” jawab cana pelan. “dia pergi nggak ngerti ke mana, pesan mama papa juga nggak ada yang dijawab. udah dua hari baru pulang sore tadi,” lanjutnya.

jihan ngangguk pelan dengar cerita dari cana. pemuda jangkung itu ikut menggerakkan ayunannya.

“udah tadi mama libur. gue disuruh ini itu padahal ada ph fisika. capek,” ujar cana melanjutkan ceritanya.

“iya. istirahat bentar sama gue,” balas jihan. cana menolehkan kepalanya ke sang kekasih kemudian tersenyum tipis dan mengangguk pelan.

setelahnya hening tidak ada percakapan antara mereka. suara yang masuk ke telinga hanya suara dari daun-daun yang bergesekkan terhembus angin dan suara-suara berisik orang lain.

keduanya memilih untuk fokus ke pikiran masing-masing sambil asyik menggerakkan ayunan yang mereka duduki.

“jihan?” panggil cana tiba-tiba.

“iya?” jawab jihan.

“kalau lo pergi gimana...?” tanya cana ragu.

“cana... gue nggak pernah ngomong kalau gue bakal selalu ada sama lo karena gue juga takut keadaan maksa gue buat pergi. gue berusaha sekeras yang gue bisa buat stay. tapi itu nggak bisa jadi patokan apa gue bakal menetap selamanya atau nggak,” jawab jihan. “na, gue selalu ngeyakinin diri lo buat naruh percaya terbesar ke diri sendiri bukan ke orang lain karena ini. people come and go, kita nggak ngerti bakal gimana besok. daripada lo udah naruh percaya besar ke orang lain tapi keadaan malah bikin lo hilang percaya ke dia,” lanjutnya.

cana menundukkan kepalanya, menatap kaki yang sedaritadi memainkan tanah yang dia pijak. kepalanya terangkat sedikit ketika tiba-tiba kekasihnya berjongkok di depannya.

jihan menggenggam satu tangan kekasihnya dan mengelusnya lembut, “cana, you're one of the strongest person i've ever met. you can do it even if you don't have a person that you can rely on them. ya? gue berusaha di samping lo terus tapi jangan terlalu bergantung sama gue. gue takut lo jatuh terlalu keras kalau gue kecewain lo.”

“cintanya jihan nggak boleh nambah luka lagi ya?” gumam jihan sembari menangkup kedua pipi pemuda di depannya.

“jihan...” lirih cana. jihan terkekeh pelan kemudian mengecup lembut dahi cana.

i love you.”

until when?”

i wish can be forever. but, until i don't love you.

night.

chenle langsung jalan ke teras depan rumah setelah tau kalau sahabatnya mau datang padahal sudah tengah malam. cowok itu duduk di kursi teras sambil ngalamun ngelihatin jalanan depan rumahnya.

“tumben pake mobil malem-malem,” gumam chenle ketika satu mobil muncul di depan rumahnya. dia jalan pelan ke depan untuk ngebukain pagar buat jisung.

“tumben pake mobil?” tanya chenle setelah pagar sepenuhnya kebuka.

“nggak papa,” jawab jisung singkat. mobilnya dia parkirin di halaman rumah sahabatnya kemudian langsung turun.

“papa pulang ya?” tanya jisung. chenle ngangguk kemudian nyusul sahabatnya yang nungguin dia nutup pagar di depan pintu rumah.

“bi,” panggil jisung. dia merhatiin sahabatnya yang lagi ngunci pintu utama rumah.

“apaan? ayo naik,” balas chenle sambil ngerangkul tangan kiri jisung.

“cium,” pinta jisung tiba-tiba.

chenle ngelirik jisung sekilas, “nggak mau, lo bau.”

“bilang sama ketek gue,” kata jisung.

“cuma ketek lo yang wangi,” balas chenle.

jisung ngelirik cowok di sampingnya aneh, “aneh banget lo.”

“kan karena itu kamu suka aku kan?” balas chenle.

“ih tau banget pacar aku,” kata jisung kemudian ngecup pipi chenle.

“dih cium-cium! siapa lo?!” seru chenle.

jisung naruh paper bag dari restoran cepat saji yang tadi dia beli ke meja balkon kamar chenle. sedangkan cowok satunya sudah duduk di salah satu kursi.

“kenalin, aku power ranger kuning,” kata jisung sambil nepuk dadanya.

“nggak lolos, gue sukanya power ranger merah,” balas chenle sambil ngeluarin makanan mereka. jisung ngedecih pelan kemudian duduk di samping sahabatnya.

“padahal kerenan power ranger item,” kata jisung.

“lah ngapa lo milih yang kuning?” tanya chenle.

“nggak tau, asal nyeplos aja,” jawab jisung.

setelahnya keduanya nikmatin makan tengah malamnya tenang sambil mandangin langit malam dari balkon kamar.

asu, gembluk,” umpat jisung ketika tiba-tiba chenle nyium pipinya padahal bibir sahabatnya belepotan saus. [anjing, anak babi]

gembluk apa?” tanya chenle santai sambil ngelap bibirnya pakai tisu.

“anak babi,” jawab jisung. dia ngebersihin pipinya kemudian naruh burgernya di meja.

“monyet!” seru chenle ketika jisung tiba-tiba nangkup pipinya dan berusaha nyium wajahnya.

“gum! ehm!” seru chenle sambil berusaha ngehindarin ciuman jisung. chenle mukul bahu jisung kencang, “udah monyet! gue cuma sekali lo tiga kali!”

“anjing, minyak semua muka gue!” seru chenle kesal. dia mukul punggung sahabatnya keras sebelum berlalu ke kamar mandi.

“yang mulai duluan balesannya harus lebih banyak dong ya,” gumam jisung. dia kembali makan burgernya yang sempat dia cuekin.

“ji,” panggil chenle setelah keluar dari kamar mandi.

“ngapain pake ji? lo duluan yang mulai,” balas jisung.

“apasi? lagi mood aja,” jawab chenle sambil duduk lagi di kursinya.

“yaudah oke chenle,” kata jisung.

“kok ikut-ikut?!” seru chenle.

“biarin. biar kapel,” jawab jisung.

chenle narik pipi sahabatnya pelan, “lucu lo gitu?”

“ya lo ja ji ja ji gitu,” jawab jisung. jisung nepuk tangan chenle pelan, “sakit van.”

“padahal ji lucu,” ujar chenle sambil nyomot kentang goreng di depannya.

“lucu pala lo muter. lo jisung jisung waktu marah doang bilang lucu,” sungut jisung.

“gue panggil vendra aja deh. ganteng tau ravendra,” ujar chenle lagi.

“gue gampar lo beneran kalau berani,” kata jisung sambil natap chenle tajam.

“ravendra, vendra, oh kakak ven– IYA BERCANDA GUM ASTAGA!”

“lo berani manggil gue ravendra lagi, gue panggil lo aderald satu bulan.”

“siap pak bos.”

first conversation

candra meletakkan ponsel di sebelahnya, memutuskan untuk fokus menikmati angin sore dan rokok di jarinya. sangat canggung untuk candra karena biasanya hanya dia orang yang duduk menikmati sore di kursi pinggir sungai kota. beberapa orang biasanya hanya lewat dan tersenyum ramah padanya, tidak ada yang berniat duduk istirahat sejenak karena penat akan hari.

pemuda itu melirik pemuda asing yang duduk sekitar dua meter di sebelahnya. wajahnya tampan kalau candra boleh jujur, tipe murid yang bisa terkenal sampai ke luar sekolah karena tampangnya. candra tipe murid yang masa bodoh dengan yang namanya sosialisasi, teman satu sekolah saja tidak pasti dia tahu apalagi di luar sekolah.

how's life?” celetuk pemuda di samping candra tiba-tiba.

candra menolehkan kepalanya cepat, “pardon? you asked me?”

“iya. siapa lagi?” jawab pemuda itu sambil menolehkan kepalanya memandang candra.

“kamu kenal saya?” tanya candra bingung.

“tau aja. kamu anggota paduan suara smansa kan?” tanya pemuda itu. candra hanya mengangguk mengiyakan perkataannya. “saya dalu janggala, panggil aja dalu. jaga-jaga siapa tau kamu bingung nyebut saya,” lanjutnya memperkenalkan diri.

candra mendengus pelan kemudian kembali menatap pepohonan di depannya dan menghisap rokoknya, “saya candra abimayu.”

“kamu sering ke sini?” tanya candra.

“sering. saya ke sini setiap minggu, makanya kamu nggak ketemu saya,” jawab dalu. pemuda yang lain menganggukkan kepalanya merespon jawaban dalu.

“kenapa kok sering ke sini?” tanya dalu.

“anginnya enak kalau sore,” jawab candra.

“oh... kirain biar bisa ngerokok tanpa ketauan,” celetuk dalu sambil meminum kopinya. “oh bener berarti,” kata dalu enteng ketika candra terbatuk setelah kalimat sebelumnya dia lontarkan. candra melirik dalu tajam sebelum menghembuskan napasnya kesal.

“kamu sendiri ngapain ke sini setiap minggu?” tanya candra ke dalu.

“pengen aja. di rumah sepi.”

setelahnya kedua pemuda itu hanya menikmati waktunya masing-masing. canggung yang candra rasakan sedikit berkurang karena pemuda di sebelahnya.

“rokok enak ya?” tanya dalu tiba-tiba.

“ya gitu,” jawab candra singkat. “mau coba?” tawar candra.

“nggak. takut kecanduan,” jawab dalu.

“emang kamu bukan coffee addict?” tanya candra. “lagian kalau kamu bisa nahan diri ya nggak bakal kecanduan. saya juga stress smoker,” lanjutnya.

“lagi stres?” tanya dalu.

candra mengulum bibirnya gugup kemudian melirik dalu sekilas, “nggak. pengen aja.”

“aneh,” dengus dalu.

candra memutar matanya kesal, “kamu ngapain ke sini? kan sekarang hari selasa.”

“pengen aja.”

candra mencibir pelan jawaban yang dia dapat dari dalu. candra terlonjak kaget ketika satu batang permen mendarat di pangkuannya.

“saya mau pulang. itu buat kamu,” kata dalu sembari bangkit dari duduknya.

candra menatap punggung pemuda itu yang sudah berjalan menjauh dari tempatnya duduk. dia mengerutkan dahinya bingung kemudian mengambil permen yang tadi dalu lempar.

“makasih?” monolognya. dia menggelengkan kepalanya heran kemudian menatap tempat dalu duduk tadi.

asu, de'en ki bali disik ben aku sek ngresiki sampah'e po piye?” dumal candra ketika mendapati gelas plastik bekas kopi milik dalu ditinggal begitu saja. [anjing, dia itu pulang duluan biar aku yang bersihin sampahnya apa gimana?]

pemuda itu dengan kasar mengambil sampah milik dalu kemudian berdiri dari duduknya. candra memilih untuk menyusul dalu meninggalkan tempat itu. langit sudah hampir gelap, candra malas dimarahin pipinya karena pulang terlalu larut.

—g & j.

“kenapa ya hidup kayak gini?”

kayak biasa, cuma malam dingin penuh pertanyaan dari pemuda manis itu.

“kalau aku ngelangkah di pijakan lain waktu mulai bakal kayak gimana ya?” tanya chenle lagi. dia nggak berharap suatu jawaban, cuma pengin ngelegain hati aja.

pemuda yang duduk di sebelahnya nolehin kepala, “kalau kamu ngelangkah di tempat lain?”

“iya.”

“aku sedih,” katanya.

“kenapa?” tanya chenle ke jisung.

“apa aku bakal ketemu kamu kalau kamu ngelangkah di jalan lain?” tanya jisung sambil kembali mandang langit gelap di depannya.

“ah...” lirih chenle.

“kamu keren. masih bisa bertahan sampai sekarang dan bahkan dapet bonus ketemu cowok ganteng kayak aku,” kata jisung.

chenle ngedengus, “pede banget.”

jisung ketawa pelan dengar dengusan sang kekasih. tangannya ngebawa tangan chenle ke atas pahanya.

“takut itu wajar. apalagi kamu nggak tau besok ada apa, apalagi kamu nggak pengin ngelangkah di jalan ini,” ujar jisung sembari ngelus lembut punggung tangan kekasihnya. dia natap chenle yang sedaritadi sudah natap dia intens, “kamu keren bisa ngelakuin yang terbaik walau di tempat yang nggak kamu mau.”

chenle ngelebarin senyumnya waktu tangan besar jisung nangkup pipinya.

thank you, ji,” gumam chenle.

jisung ngangguk pelan, “anytime, you have me.”

kayak biasa juga, dinginnya diubah jadi hangat oleh pemuda lainnya.

—jo, 22 october 2021.

sorai

hujan turun deras waktu itu, suaranya berisik jatuh ke tanah. tapi tawa keras dari salah satunya tak dapat dikalahkan hujan. yang satunya lagi hanya tersenyum tipis, menikmati tawa sebagai teman bermainnya.

“ji apa kau tau kenapa aku sangat menyukai hujan?” celetuk si pembuat tawa.

“kenapa?” tanya yang satunya sembari ikut merebahkan tubuh di rumput basah.

“aku bertemu denganmu saat hujan! saat itu aku menangis, berteriak kenapa dunia sangat jahat padaku. tapi datang pemuda dengan wajah datar, tiba-tiba memelukku tanpa izin! dia mengubah air mataku jadi tawa sekarang,” jelasnya sambil memainkan tangan di udara,

ia menolehkan kepalanya, “tapi apa hujan akan terus baik padaku?”

entahlah, saat itu ia ingin hujan terus baik padanya. dia tidak berharap dunia baik padanya. hanya hujan. apa hujan terus beri tawa baginya?

pertanyaannya waktu itu menjawab pertanyaannya yang lain. tidak ada yang baik padanya. bahagianya hanya datang sementara, tidak ada yang selamanya. pengubah air mata menjadi tawa sudah rusak, bahkan terkubur dalam di bawah sana.

harapan akan bahagia jadi ketakutannya sekarang. harapannya akan pupus setelah ia menemukan titik terang dari ujung harapannya. sudah lelah ia mencari yang namanya bahagia.

teriakannya kembali berusaha mengalahkan suara hujan. kembali bertanya pada semesta kenapa ia selalu merusak harapannya. kali ini tidak ada yang tiba-tiba memeluknya, bahkan ia tidak mengharapkan itu.

harapannya akan bahagia sudah ia putuskan dikubur bersama kebahagiaan terakhirnya. bahagia terakhirnya hanya pemuda jangkung pemeluk tawanya itu. ia tidak menginginkan bahagia lagi. sudah. hanya yang terakhir yang sudah terkubur itu.

ia menjatuhkan tubuhnya di tanah dan menghela napasnya kasar, “kembali rasakan hilang. kembali dapat sorai di tengah hujan. kembali tak rasakan genggam di tangan selamanya.”

—jo, 1 november 2021.

<8

“nggak mau pulang? belum malem banget,” kata jiandra.

“nggak mau. gue ketemu lo baru sekali minggu ini,” balas cleo sambil ngusakin mukanya ke perut jiandra.

“kan bisa ketemu aku besok lagi. jangan-jangan kak ren udah pulang lagi besok,” kata jiandra.

“HEH! nggak mungkin ih.”

ketawa pelan jiandra ngusak rambut pacarnya, “tidur aja yuk. itu mata item banget, nanti berubah dari kucing jadi panda.”

“andra lo tau bedanya lo sama daegal?” tanya cleo random.

“tau lah, aku manusia dia anjing,” jawab jisung santai.

“nggak. nggak ada bedanya, sama-sama ngeselin. heran gue makin ke sini makin ngeselin lo,” dumal cleo sambil ngangkat kepalanya dari paha jiandra.

“apa?” tanya jiandra saat pacarnya mandangin dia terus.

“mau peluk...”

“sini sambil puk puk,” kata jiandra sambil ngulurin tangannya. cleo senyum lebar kemudian dudukin badannya di pangkuan pacarnya.

“capek ya?”

“hmm.”

“tidur, nanti aku nggak bisa pamer kalau punya kucing pinter lagi,” kata jiandra sambil nepuk-nepuk pantat cleo pelan.

“tapi kan ada mpus yang pattern rambut di mukanya ada bulet item di sekitar matanyaa,” balas cleo.

“iya?”

“iya adaaa, punya pacarnya kak nana siapa namanya? itu kucingnya gituuu,” jawab cleo.

“nggak deh perasaan. punya kak jeno putih pattern rambutnya nggak bulet-bulet.”

“iih, yaudah ketemu di jalan. ada pokoknya!”

“iya ada iya.”

“sayang andra,” lirih cleo.

“sayang cle juga,” balas jiandra sembari ngecup pelipis cleo. tangannya ngelus lembut pipi putih cleo, “good night baby, sleep tight.”