escape.

apa pelarian terbaik untuk jisung dan chenle? lari kepelukan masing-masing jawabannya. dengan malam dingin teman sejati tangisan mereka. tidak ada yang bisa menandingi menangis tanpa arah, tidak berucap sepatah kata, dan dengan lengan salah satu melingkar erat di pinggang sebagai tempat lari dari lelah.

tempatnya sedikit berbeda kali ini, bukan di balkon kamar chenle maupun di sudut kamar jisung. ini ide jisung yang baru datang di rumah chenle dan langsung memerintah sahabatnya itu untuk naik ke punggungnya.

“ngapain gum?” tanya chenle bingung ketika jisung memakaikan jaket ke tubuhnya. dia sedang melamun, hampir menangis tapi diganggu pemuda jangkung itu.

“jalan-jalan ayo. ke indoapril depan, beli cemilan,” jawab jisung yang sudah menundukkan tubuhnya di sebelah chenle.

karena mood-nya yang memang sudah buruk jadilah chenle langsung mengiyakan ajakan dari jisung. pemuda manis itu langsung naik ke punggung jisung dan menyamankan posisinya.

“gumelar,” panggil chenle pelan. keduanya sudah berada di luar rumah sekarang. jisung juga sudah mulai berjalan meninggalkan rumah sang sahabat.

yang dipanggil menolehkan kepalanya menatap wajah chenle dari samping, “kenapa?”

“capek,” jawab chenle. pandangannya masih menatap lurus ke arah depan. dirinya tidak peduli bahwa faktanya jisung malah melangkahkan kaki menjauh ke arah yang berbeda dari tempat yang menjadi tujuan mereka.

jisung tidak merespon jawaban dari sang sahabat. pemuda itu membiarkan yang ada digendongan untuk berbaur dengan emosinya sendiri.

“capek,” lirih chenle lagi. dia merengkuh leher jisung lebih ketat dan membenamkan wajahnya di bahu jisung. tangisan chenle terdengar kembali malam ini dan jisung kembali abaikan itu.

ya memang tujuan mereka hanya untuk cipta rasa nyaman bukan cari solusi untuk masalah. mereka sama-sama lemah kalau boleh bilang. rasanya omong kosong kalau salah satu mendorong untuk lebih baik padahal dirinya sendiri tidak bisa lebih baik. tidak ada gunanya bersembunyi bagi mereka, sudah terlalu mengenal katanya.

tangisan yang lebih tua terus terdengar sampai seperempat perjalanan terlewati. jisung memang mengambil jalan memutar, memilih untuk sampai lebih lama demi mendapat sepi.

jisung menolehkan kepalanya sekilas untuk melihat keadaan sahabatnya.

“sudah?” tanya jisung.

“iya sudah,” jawab chenle sambil mengangkat kepalanya. dia mengusap wajahnya kasar untuk menyingkirkan air mata yang membasahi pipi.

thank you,” ujar jisung.

“kenapa?”

“nangisnya sama gue,” jawab jisung sambil menyunggingkan senyum tipisnya.

chenle terkekeh pelan, “nangis di rumah sendiri lebih lega.”

“van,” panggil jisung. yang dipanggil membalas dengan gumaman singkat. “kata orang, zona nyaman itu dibangun bukan dicari. kalau dibangun lo bakal punya hak penuh buat nendang orang brengsek yang masuk karen itu zona lo. bukan lonya yang keluar,” kata jisung.

“emang iya,” ujar chenle sambil meletakkan dagunya di kepala jisung.

“tapi gimana kalau zona nyaman itu dibangun sama dua orang? yang punya hak siapa?” tanya jisung.

“dua-duanya,” jawab chenle. “tapi nggak mungkin ada yang masuk sih. mereka cuma punya mereka, ngapain percaya orang lain? sebelum ditendang sudah nggak bisa masuk,” lanjutnya.

keduanya tertawa pelan mendengar perkataan chenle. ya benar, untuk apa orang lain? mereka tidak membutuhkan personil baru, hanya satu sama lain.

“gum, onigiri masih ada nggak ya?” tanya chenle tiba-tiba.

“abis pasti. udah malem anjir,” jawab jisung. “udah jam berapa?” tanyanya kemudian.

“jaam...” ujar chenle sambil menarik ponsel pintarnya dari saku celana. pemuda itu langsung mengecek jam yang tertera di layar ponselnya. “jam setengah dua belas lebih sedikit,” lanjutnya.

“besok berapa kelas?” tanya jisung.

“nggak tau. lupa,” jawab chenle santai.

“si goblok,” umpat jisung. yang diumpati hanya tertawa kemudian mengalihkan topik pembicaraan.

percakapan ringan mereka bawa di tengah sepinya jalanan kompleks perumahan chenle. kadang tertawa ketika ada lelucon terlontar dari salah satu. tangan chenle juga asyik memainkan rambut dan wajah jisung dari belakang.

“capek juga,” gumam jisung.

chenle langsung merengkuh leher sahabatnya kembali, “awas aja diturunin.”

dia tau kalau dirinya berat tapi masa bodoh, jisung yang menawarkan tumpangan.

“iyaa...”

“gum gum lari guum! hiyaa!” seru chenle setelah meluruskan kedua tangannya ke depan. karena mereka hampir sampai ke tempat tujuan, jisung langsung menuruti keinginan chenle.

pemuda jangkung itu membetulkan posisi chenle sekejap lalu mengambil ancang-ancang.

“hiyaa!” seru jisung sambil mulai berlari.

tawa chenle lepas karena tingkah jisung. seruan tertahan di sela tawanya juga terdengar ketika jisung melompat kecil.

“dah,” ujar jisung sambil menurunkan tubuh sahabatnya ketika keduanya sampai di tempat tujuan. dia menunduk menetralkan napas terengahnya.

chenle menunjukkan ibu jarinya dengan posisi terbalik ke jisung, “lemah.”

“lemah pala lo. sini lo pulangnya yang gendong gue,” balas jisung kesal.

“ganteng banget lo,” kata chenle setelah mencolek hidung jisung–mengalihkan topik percakapan mereka.

“hilih.”

“hehe... ayo!”

kalau nyaman mereka rusak mungkin dunia juga akan rusak.

—j.