sorai

hujan turun deras waktu itu, suaranya berisik jatuh ke tanah. tapi tawa keras dari salah satunya tak dapat dikalahkan hujan. yang satunya lagi hanya tersenyum tipis, menikmati tawa sebagai teman bermainnya.

“ji apa kau tau kenapa aku sangat menyukai hujan?” celetuk si pembuat tawa.

“kenapa?” tanya yang satunya sembari ikut merebahkan tubuh di rumput basah.

“aku bertemu denganmu saat hujan! saat itu aku menangis, berteriak kenapa dunia sangat jahat padaku. tapi datang pemuda dengan wajah datar, tiba-tiba memelukku tanpa izin! dia mengubah air mataku jadi tawa sekarang,” jelasnya sambil memainkan tangan di udara,

ia menolehkan kepalanya, “tapi apa hujan akan terus baik padaku?”

entahlah, saat itu ia ingin hujan terus baik padanya. dia tidak berharap dunia baik padanya. hanya hujan. apa hujan terus beri tawa baginya?

pertanyaannya waktu itu menjawab pertanyaannya yang lain. tidak ada yang baik padanya. bahagianya hanya datang sementara, tidak ada yang selamanya. pengubah air mata menjadi tawa sudah rusak, bahkan terkubur dalam di bawah sana.

harapan akan bahagia jadi ketakutannya sekarang. harapannya akan pupus setelah ia menemukan titik terang dari ujung harapannya. sudah lelah ia mencari yang namanya bahagia.

teriakannya kembali berusaha mengalahkan suara hujan. kembali bertanya pada semesta kenapa ia selalu merusak harapannya. kali ini tidak ada yang tiba-tiba memeluknya, bahkan ia tidak mengharapkan itu.

harapannya akan bahagia sudah ia putuskan dikubur bersama kebahagiaan terakhirnya. bahagia terakhirnya hanya pemuda jangkung pemeluk tawanya itu. ia tidak menginginkan bahagia lagi. sudah. hanya yang terakhir yang sudah terkubur itu.

ia menjatuhkan tubuhnya di tanah dan menghela napasnya kasar, “kembali rasakan hilang. kembali dapat sorai di tengah hujan. kembali tak rasakan genggam di tangan selamanya.”

—jo, 1 november 2021.