cw // harsh words , kissing
jujur, jisung ini lelahnya dan malasnya bukan main. tapi dia akui kalau sudah jarang banget quality time bareng chenle. selalu sibuk dan kalau lagi senggang ya ujung-ujungnya sekadar cuddle di kasur, itupun nggak banyak ngobrol.
jisung rapiin lagi hair dryer yang habis dia pakai ke tempat semula. senyumnya terbit tipis saat baca pesan singkat chenle yang bilang kalau dirinya sudah sampai di depan rumah. segera jisung ngambil dompetnya kemudian ngehampiri sang sahabat.
“malam, bi,” sapanya sembari duduk di kursi penumpang depan.
“hehehe... malaam...” balas chenle sambil cengengesan. dia tuh tau kalau jisung benar-benar malas, tapi gimana dia juga kangen. setelah pelipis lelaki jangkung di sebelahnya chenle kecup lembut dia langsung ngelajuin mobilnya kembali.
“mau ke mana?” tanya jisung saat mobil yang dia tumpangi sudah menjauh dari rumahnya.
“nggak tau deh, muter-muter aja. entar kalau udah laper ke mekdi,” jawab chenle yang jisung tanggapi dengan anggukan singkat.
senyum manis chenle ngembang bersamaan dengan pahanya yang diremas lembut oleh jisung. “kita sekarang jarang quality time,” ujarnya sambil nepuk-nepuk tangan sang sahabat yang ada di pahanya.
“iya, sadar gue,” balas jisung. napasnya dia hembusin pelan sebelum paha polos chenle dia usap lembut. “maaf ya, gue beneran capek ngurusin kerjaan. nggak tau kenapa tapi gue ngerasa kayak dikejar-kejar nikah juga,” lanjutnya.
“it's okay, i'm totally understand you,” ujar chenle. dia lirik sekilas lelaki di sebelahnya, “lagi pula gue juga rada sibuk kan sekarang?”
“iya,” lirih jisung. dia tepuk paha chenle sebelum narik tangannya dari sana–nggak mau terlalu mecah konsentrasi chenle, bahaya. “lo pake pendek banget anjrit,” ujarnya kemudian.
“ya lagian kan nggak keluar-keluar,” jelas chenle. “yang liat cuma lo lagian,” lanjutnya.
“oh kayaknya sengaja gitu ya?” goda jisung. wajahnya dia dekatin ke wajah chenle ketika mobil mereka berhenti di lampu merah.
“diem,” kata chenle sambil nyubit kecil tangan sahabatnya.
“sakit woe!”
“makanya jangan aneh-aneh anjing.”
jisung cuma ngedecih pelan nanggapi balasan sahabatnya. matanya sekarang mulai natap suasana jalanan yang mereka lalui di jam 11 malam ini. nggak terlalu lengang, tapi nggak ramai juga.
“bi tau nggak sih?” celetuk jisung yang ditanggapi gumaman dari chenle. “gue pengen mini cooper deh,” lanjutnya.
“gila si monyet ini, malem-malem anjing,” umpat chenle kesal. “minta ayah minta ayah,” ujarnya kemudian dengan nada semangat sambil nepuk-nepuk bahu jisung.
“idiih,” ujar jisung. dia ambil tangan kiri chenle untuk digenggam, “eh tapi ayah ngado nikahan kita katanya ini, tanah.”
“eh tapi katanya mama juga mau kasih tanah,” balas chenle. “katanya mau kasih di surabaya,” lanjutnya.
“jadiin kos nggak sih kalau beneran? ayah tuh ada tanah di magelang, katanya itu yang mau dikasih,” ujar jisung.
chenle ngangguk-ngangguk paham, “gue kepikirannya buka kafe deh?”
“boleh tuh. liat dulu lebih strategis yang mana lokasinya,” jawab jisung.
“dah laper,” lirih chenle.
“belum makan?” tanya jisung yang dengar suara lirih dari laki-laki di sebelahnya itu.
“udah, akhir-akhir ini gue sering banget laper deh. kenapa ya?” tanya chenle.
“gue waktu kuliah dulu pernah tanya pertanyaan yang sama kayak lo ke ayah. dimarahin gue, gini katanya. kamu tuh goblok apa gimana sih tau sendiri kegiatan dari pagi sampe pagi lagi tapi makannya sedikit, mana sering kelupaan. ya iyalah cepet laper, tenagamu itu kebuang jadi makan yang banyak,” jawab jisung sambil niruin perkataan ayah beberapa tahun lalu. chenle respon jawaban jisung dengan tawa renyah.
“cocok tuh,” celetuk chenle setelah tawanya reda.
“cocok apa?” tanya jisung bingung dengan konteks celetukan sahabatnya.
“dah cocok jadi ayah,” jelas chenle.
“belum lah,” sanggah jisung. “gue masih perlu banyak belajar, gue bahkan belum mulai belajar. pengetahuan gue mungkin aja bisa dibilang masih nol besar,” jelasnya kemudian.
chenle anggukan kepalanya tanda paham, “mungkin dua sampe tiga tahun lagi gue juga baru siap.”
“menurut lo kalau udah adopsi, mending masuk sekolah internasional atau negeri aja?” tanya jisung nyambungin percakapan ke topik lain.
“jujur gue tuh lebih suka lingkungan negeri mungkin karena smp sma gue negeri ya, lebih hemat juga menurut gue,” jawab chenle. “tapi masalah pendidikan ya menang inter nggak sih? lebih terjamin. tapi ya gitu, harus siap finansialnya,” lanjutnya.
“setuju, gue juga mikirnya gitu,” balas jisung. “tapi kalau sma, gue pikir kitanya harus tanya dulu ke doi kuliah mau masuk negeri atau swasta. kalau mau masuk negeri better sma juga ambil negeri,” lanjut jisung.
“misal kalau kuliahnya dia mau study abroad gimana?” tanya chenle.
“ya terserah sih, nggak tau respon gue besok hahaha... kayak kalau dilogika sih ya terserah doi, tapi kan sekarang gue nggak ada ikatan secara emosional juga jadi belum kebayang,” jelas jisung. “menurut lo, besok kalau udah ada anak. gue bakal jadi bapak yang kayak gimana?” tanya jisung.
“bentar,” jawab chenle sambil belokkin mobilnya ke arah salah satu restoran cepat saji yang jadi salah satu tujuan mereka. “lo mau?” tanya chenle.
jisung ngangguk pelan, “big mac.”
“okey.“
setelah chenle selesai mesan makanan mereka, dia baru mulai ngejawab pertanyaan dari jisung sembari jalanin mobilnya lagi ke tempat pick up pesanan.
“menurut gue lo bakal santai aja sih, santai tapi tetep ada aturan gitu. terus juga lo nggak bakal nuntut banyak hal. you can be our child's best friend, also a great physic and mathematic teacher for them, lumayan nggak usah les,” ujar chenle. “tapi rada traumatik belajar fisika sama lo anjing,” lanjutnya.
“yakan waktu itu lagi bete van astagaa... dibawa-bawa mulu,” sungut jisung.
“ya nggak usah dibentak gitu kali, ngerasa goblok banget gue jadinya,” balas chenle lagi.
ya gitu, waktu sma chenle pernah minta jisung ajarin materi fisika kan. tapi dua-duanya lagi capek, si chenle nggak fokus dan jisung emosian.
“emang anjing, itu tinggal dicoret lo mikir berabad-abad,” kata jisung.
“ya itu gue lagi capek ya, makanya nggak fokus!”
“tapi anak sd aja bisa bi anjrit! itu empat kali dua bagi dua, dua dua coret coret, empat!”
“lo besok bentak anak gue, gue tampar lo,” ancam chenle sebelum ngebuka kaca jendelanya.
“kaos lo si tolol,” umpat jisung waktu chenle majuin tubuhnya untuk ngambil pesanan yang diulurin karyawan. kaos yang sahabatnya pakai itu dia tarik dan tahan bagian lehernya. “celana pendek mampus, kaos kedodoran, agak-agak lo jadi manusia,” omel jisung.
“nyenyenye,” cibir chenle. “mau makan di mana?” tanyanya kemudian.
“terserah,” jawab jisung sembari ngebenahi kaos chenle yang tadi dia tarik supaya tulang selangka laki-laki itu nggak nampak.
“mau di taman komplek rumah lo kejauhan nggak?” tanya chenle.
“gitu mah mending di halaman belakang aja, lebih terang,” jawab jisung.
“yaudah gitu aja mau?” tanya chenle lagi.
“iya.”
“mau kentang, babe,” pinta chenle.
laki-laki jangkung yang lagi minum sodanya langsung ngambil kentang goreng dan es krim di bangku belakang.
“eh ada aa,” celetuk jisung sambil nunjuk satu mobil di depan mereka yang berplat nomor aa. dia julurin satu potong kentang goreng ke depan mulut sahabatnya setelah itu.
“magelang ya?” tanya chenle.
“kedu sih, beda belakangnya doang tapi gue lupa belakang-belakangnya itu,” jawab jisung. “mcflurry-nya mau?” tanya jisung.
chenle ngangguk sekilas sebelum kembali berucap, “kedu tuh mana aja?”
“magelang, wonosobo, temanggung, purworejo,” jawab jisung sambil nyuapin chenle satu sendok es krim.
“eh eh, kalau gue gimana? menurut perspektif lo gue bakal gimana kalau udah jadi orang tua?” tanya chenle ngembaliin percakapan ke topik sebelumnya.
“gimana ya? mungkin lo bakal jadi tipe ayah yang enak banget diajak ngobrol, terus lembut banget apalagi lo pengennya cewek nggak sih? lo sama ningning aja udah kayak gitu,” jawab jisung. “lo kayaknya suka banget sama cewek, gentle juga. kenapa jadi suka cowok sih?” tanyanya setelah itu.
“lah gue nggak pernah cerita?” tanya chenle bingung. yakali masalah ginian nggak pernah cerita, pikirnya.
“nggak tau deh, lupa.”
“jadi tuh, gue kalau sama cowok apalagi sama lo ya. gue yang merasa diayomi, gue yang mereka terlindungi. sedangkan kalau sama cewek, gue yang merasa harus melindungi dan mengayomi. makanya gue sama cewek tuh kayak gitu, even sama somi ryujin pun,” jelas chenle. “bahkan sama daehwi pun gue yang ngerasa aman,” lanjutnya.
“oohhh... iya iya, pernah cerita sih kayaknya. gue aja yang lupa,” ujar jisung sembari nyodorin chenle satu sendok es krim lagi.
“eh kak marka kemarin beli rumah,” celetuk chenle.
“mereka mau nikah nggak sih sebenernya?”
chenle buka mulutnya tanda minta disuapi kentangnya lagi. “nggak tau dah, mumet,” jawab chenle setelah nerima suapan dari sang sahabat.
“sebenernya lo prefer anak laki atau perempuan?” tanya chenle setelahnya.
“terserah yang penting doi ketawa tiap gue genjrengin gitar, entar gue cek satu-satu di panti,” jawab jisung. “bi! anjir lo,” umpat jisung ketika kepalanya ditoyor tiba-tiba sama laki-laki di sebelahnya.
“lo aneh.”
“daya tariknya di situ.”
“pembohongan publik.”
“babi diem.”
“iiih lo pasang fairy lights-nya kapan?” tanya chenle antusias.
sekarang keduanya sudah sampai di rumah jisung dan langsung menuju ke halaman belakang setelah masukin mobil.
“kemarin,” jawab jisung singkat.
halaman belakang rumah jisung memang didesain kayak taman yang seperempat bagiannya dikasih atap biar kalau mau nongkrong di sana nyaman. nah baru kemarin itu jisung pasangi fairy lights supaya suasananya nggak terlalu monoton.
“sini makan,” ajak jisung yang daritadi sudah duduk di salah satu kursi. “nama menu appetizer-nya giovana,” ujar jisung saat chenle malah ngedudukin tubuh di pangkuannya.
“mulutnya,” gumam chenle sambil naruh makanan mereka di meja. “gue kangen lo,” ucapnya kemudian. tubuh besar si lelaki jangkung dia rengkuh erat.
“eyy... kemarin kan juga ketemu sayangku,” balas jisung. rengkuhan dari chenle dia balas sama eratnya. bibirnya bubuhkan banyak kecup di kepala chenle.
“udah lama nggak ngobrol, beda rasanya,” jelas chenle. dia kecupi lembut daerah leher dan rahang milik yang lebih muda. “kangen banget tau...” lirihnya.
“masih kangen?” tanya jisung. punggung cintanya dia usap lembut, ngasih afeksi yang nggak dia kasih secara intens beberapa waktu terakhir.
“masih!” seru chenle sambil negakin posisi tubuhnya.
jisung keluarkan tawa kecilnya, wajah manis chenle dia tangkup. “gimana dong?” tanyanya.
“makasih ya,” ujar chenle sambil jelajahi wajah kesayangannya dengan jari-jari.
“apaan coba?” tanya jisung dengan kekehan di akhirnya.
“masih bareng-bareng gue, keren banget sih lo nggak nyerah sama gue,” jelas chenle. bibirnya ngebentuk senyum manis, ngasih tau kalau sekarang dia bahagia.
“manis banget sih, sayangnya siapa ini?” ujar jisung sambil ngusap bibir chenle lembut.
“sayangnya gumelar,” jawab chenle mantap. jawabannya dapat tawa renyah dari jisung sebelum bibirnya dikecup gemas oleh laki-laki itu.
jisung benahi duduknya kemudian dekatin wajahnya ke wajah chenle. hidung chenle dia usak pelan dengan hidung bangir itu.
“nggak pernah mau gue lepas lo. gue nggak bisa percaya sama orang lain buat jadi partner lo,” lirih jisung sambil tatap dalam mata coklat manis itu.
“ya emang gue percaya orang lain?”
“iya ya? nggak tau gue.”
“ah nyebelin,” kata chenle. wajahnya dia jauhin dari wajah jisung.
jisung ngekeh geli sebelum tarik tengkuk chenle ngedekat, “bercandaa.”
“ya.”
bibir jisung kecup gemas pipi tembam chenle sebelum kembali tatap mata laki-laki itu. “i love you. sumpah, kadang gue sampe ngerasa kalau kalimat gue cinta lo tuh nggak cukup,” lirih jisung. jari-jarinya konstan usap lembut pinggang chenle, entah sejak kapan tangannya sudah berada di balik kaos laki-laki itu. “i love you,” lanjutnya sebelum mulai kecup lembut bibir manis chenle.
chenle lebarkan senyum manisnya kembali saat sadar jisung sudah mejamin matanya. laki-laki manis itu ambil inisiatif gerakin bibir lebih dulu sesaat sebelum tutup matanya. kuluman lembut chenle beri di bibir bawah jisung.
bukan ciuman penuh napsu, cuma ciuman pengingat, pengingat kalau hadir keduanya itu nyata. ciuman penuh harap, semoga masih banyak kesempatan bagi keduanya untuk kembali nikmati seperti ini. ciuman bahagia pula, bahagia karena masih bisa hadir di kehidupan masing-masing.
jujur, takut akan ditinggalkan kadang lewat di pikiran jisung dan chenle. takut gimana kalau sebenarnya dunia ternyata nggak berpihak pada mereka. takut salah satu dari mereka goyah.
tapi momen yang mereka ciptain tanpa rencana kayak gini bisa bikin mereka sadar. sadar kalau nggak ada yang mau ngelepas maupun ninggalin.
kecupan dalam dari jisung beri sebagai penutup ciuman mereka malam ini. chenle beri jarak sedikit antar wajah mereka. jemarinya sentuh pipi jisung, diusap lembut pipi halus milik sahabatnya. chenle kecup sekali lagi bibir milik kasihnya itu. “i love you more,” lirih chenle.
jisung keluarin kekehannya lagi sembari ngusap lembut punggung chenle.
“akhirnya pulang,” lirih chenle sambil nyandarin kepalanya di bahu jisung.
“ya lo nggak pindah-pindah,” balas jisung dengan nada gemas. pundak laki-laki di pangkuannya yang sudah terekspos banyak itu dia kecupi lembut.
chenle hela napasnya kasar, “masih mau sama mama papa.”
“iya, udah yuk makan.”
chenle turun dari pangkuan sahabatnya kemudian pindah duduk di kursi yang lain.
“gue nginep deh,” ujar chenle sambil ngambil burger miliknya.
“ya iyalah babi, udah tengah malem gila aja pulang,” omel jisung sambil nepuk pipi sahabatnya agak keras.
“nyenyenye, besok jemput berarti,” kata chenle. makanannya dia sodorin ke depan mulut jisung.
“lo selesai jam berapa?” tanya jisung sebelum ngegigit burger yang chenle sodorin.
“jam enam sih, gue ngajar sampe jam enam,” jawab chenle.
jisung ngangguk paham, “gue tunggu di kantor lo berarti, gue selesai jam empatan kayak biasa.”
“nanti langsung ke gue aja kalau lo udah selesai,” kata chenle. “cemong banget om,” ledek chenle sambil bersihin mulut jisung yang kotor.
“lagi caper soalnya dek,” ujar jisung
chenle ngangguk-ngangguk, “oalah omnya lagi haus afeksi ternyata.”
“iya dek. kamu cinta nggak dek sama om?”
“iya om, adek cinta sama om.”
“anjing jijik!”
“lo kalau nggak bisa jaga suasana mending diem si anjing.”
“siap salah kak.”