lari-jauh

“gimana hari ini, cinta?” tanya jisung untuk awali sesi telpon mereka malam ini.

“sepi...” jawab chenle. “papi cepet pulang...” lanjutnya.

terdengar kekehan ringan dari seberang sebelum chenle dengar balasan dari jisung, “iyaa, lusa papi pulang.”

“kangen banget tau, udah berapa hari aku pake kaos papi terus,” cerita chenle sambil menarik selimutnya lebih tinggi.

“besok papi pulang dipuk-puk yaa,” kata jisung dengan senyum lebarnya di sana.

“iya!” balas chenle antusias.

“kamu udah punya ala kok masih kayak anak smp sih,” kata jisung geli.

“mana ada!” seru chenle yang buat tawa jisung lepas begitu saja.

“udah deeh, sana bobook,” perintah jisung kemudian.

“pengen digitarin tapi kamunya nggak ada gitar,” kata chenle lesu.

“besok ya, sunny? gummy-nya kerja dulu,” ujar jisung.

“huum... yaudah aku bobok ya?”

okee, lusa jemput gum ya?”

“iya.”

good night, sweetie. i love you.

i love you more.

“makasih clara,” ujar jisung ketika anaknya sudah turun dari mobil kawannya itu.

sekitar pukul setengah sepuluh malam ala baru sampai di rumah diantar clara sesuai apa yang dia bilang tadi. setelah jisung ngebuka gerbang buat ala, dia langsung berlalu ninggalin anaknya yang masih pakai seragam sekolahnya. ala ngehela napasnya pelan buat nenangin dirinya sendiri yang gugup setengah mati.

sebenarnya jisung dan chenle tidak banyak aturan untuk anaknya. tapi buat ngabarin di mana keberadaan ala itu hukumnya sudah wajib di rumah mereka. jisung dan chenle ngebebasin kok ala pulang sampe malam, asal alasannya bisa mereka terima dan asal mereka tau ala di mana. nggak kayak malam ini, sudah hape nggak bisa dihubungi, sampai malam belum pulang, belum ngabarin lagi mau ke mana. ala tau dia salah dan ala tau dia tanggung jawab terbesar orang tuanya, maka dari itu dia takut setengah mati.

“maaf papi daddy,” lirih ala. setelah naruh sepatu di tempatnya dia mutusin buat nyusul papinya di ruang keluarga.

jisung langsung nurunin volume suara tv kemudian ngehembusin napasnya lelah.

“ngapain sampe lupa ngabarin?” tanya jisung sambil natap ala.

“nyu–”

“ngapain nunduk? ngobrol sama lantai kamu? liat sini,” interupsi jisung. ala langsung negakin kepalanya dan natap mata sang papi.

“iya papi. tadi nyusun lpj, pulang sekolah aku nerima nota sama kuitansi ternyata nota banyak yang kurang cap sama tanda tangan. kuitansi juga temenku lupa minta yang kosong. jadi tadi sama clara ngejar jam operasional tokonya,” jelas ala. dia itu sekretaris osis sekolahnya dan sekarang lagi pusing nyusun lpj.

“setelah itu? bener-bener nggak ada waktu cuma buat ngabarin? ala tau tidak daddy nunggu ala di sekolah?” tanya jisung.

“lupa papi, maaf...”

“papi daddy daritadi nggak cuma nunggu kamu pulang la. kami panik nyariin kamu, nelponin siapa aja yang kenal kamu nanyain ala di mana,” ujar chenle yang sedari tadi diam akhirnya angkat suara. “ala tuh anak daddy papi. bukan cuma orang asing yang tidur di rumah ini. kalau ala kenapa-napa itu yang tanggung jawab papi daddy,” lanjutnya.

“nggak kepikiran panik, takut, dan sedihnya papi daddy kamu? cuma lpj aja bahkan papi daddy bisa bantu. cuma lengkapin nota aja,” sambung jisung.

“maaf papi daddy...” lirih ala. matanya sudah berkaca-kaca makin ngerasa bersalah setelah dengar omelan dari orang tuanya.

“jangan diulang,” tegas jisung sambil malingin wajahnya ke tv.

“iya papi.”

chenle ngehela napasnya lagi, “sudah makan malam, sayang?”

“sudah dad.”

“yaudah sekarang naik, mandi terus istirahat,” perintah chenle.

“iya, malam papi daddy,” pamit ala.

“malam,” balas chenle dan jisung kompak.


cw // mental breakdown

pusing sumpah pusing. ala ini selalu rutuki diri kalau mulutnya keluarkan sedikit keluh kesah soal hidup. sudah enak-enak dapat orang tua baik, diberi nafkah, diberi rumah, diberi apa yang diperlukan, tapi masih aja keluhkan soal ini itu. gadis sma ini pasang topeng terbaiknya untuk tutup semua suntuk di wajah agar sang daddy dan papi tidak ada khawatir apa-apa.

tapi ya sabar ada batasnya. lelah, kesal, jenuh, semua ada batasnya. malam ini sudah lebihi batas yang bisa ala tampung. lelah tampung tanggung jawab yang banyak diberi kepadanya. jenuh dengan semua rentetan kata yang harus dia susun sedemikian rupa untuk perizinan berlangsungnya acara organisasi. kesal, kesal temannya banyak yang tidak bisa diajak kerja sama.

malam ini ala beranikan diri untuk berlari sambil seru lelah ke papinya di kamar. masa bodoh apa tanggapan lelaki jangkung itu, yang penting ala sudah berani jujur kalau kondisinya tidak sebaik yang dikira.

“adek kenapa?” tanya jisung tenang saat anak satu-satunya itu masuk ke kamar dengan air mata yang sudah membanjiri pipi.

“papi!” seru ala yang sudah menyembunyikan wajahnya di kasur sang papi.

“adek pindah ke atas dulu sini, boleh? dingin itu di lantai. yuk pindah atas dulu,” bujuk jisung. tangannya telaten usap lembut rambut legam ala, coba tenangkan diri sang anak yang masih menangis keras. lelaki itu akhirnya mengalah karena ala tidak juga beri pergerakan. tubuhnya dia bawa bergerak menuju samping ala yang masih terduduk di lantai.

“sini yuk papi gendong,” ujar jisung sambil lembut raih pinggang gadisnya. dalam hati jisung ucap syukur karena ala tidak berontak untuk direngkuh. dia gendong anak kesayangannya seperti biasa jisung gendong sang suami.

“capek papi,” keluh ala di tengah sesenggukannya.

“iya, nanti istirahat ya? sudah bisa istirahat kan adek?” tanya jisung. badannya dia goyang kanan kiri sambil tepuk pantat ala pelan seperti tenangkan bayi yang menangis.

“sudah, tinggal di-print,” jawab ala lirih.

nggih, nanti papi print-kan ya?”

“capek pap gum, nggak kuat...”

keluhan yang dia dengar tidak langsung ditanggapi. jisung biarkan gadis di gendongannya tenang lebih dulu.

dad van pulang jam berapa?” tanya ala pelan. tangisnya sudah reda berkat usapan dari sang papi.

“tadi sudah di jalan kok, tunggu ya...” jawab jisung. “mau mimik teh dulu? papi bikinkan,” tawarnya kemudian.

“nggak... mau bobok aja,” jawab ala sambil usak wajahnya di leher sang papi.

jisung terbitkan senyum tipis, “nggak nungguin daddy?”

“ngantuk...”

“mau bobok digendong papi atau di kasur?” tanya jisung.

“di gendong...”

“ya...” ujar jisung pelan. dia kecup dalam pelipis ala. “adek, papi ada cerita,” kata jisung.

“apa papi?” tanya ala penasaran.

“papi dulu juga banyak jatuhnya, lemah juga. waktu masih labil buat milih sandaran waktu butuh,” kata jisung sebagai awal dari ceritanya malam ini. “terus akhirnya papi sama daddy percaya satu sama lain buat jadi sandaran kalau lagi nggak kuat, kalau lagi mau nyerah,” lanjutnya.

jisung tepuk-tepuk pelan pantat gadis cantiknya, “masalah itu datang terus, jadi harus cari sandaran yang bisa bantu dalam jangka waktu panjang. ala belum waktunya buat cari pasangan hidup memang. tapi ala punya papi, punya daddy. pap dad nggak bakalan pergi dari sisi ala.”

“ala itu masih ada kuatnya, tapi tinggal sedikit. nah kalau sudah kayak gitu, ala minta ke papi atau daddy. papiii, ala nggak kuat. boleh minta kuatnya papi? gitu...” ujar jisung lagi. jemarinya sekarang usap-usap rambut ala, “adek bisa minta cium papi, bisa minta peluk papi. mau cerita juga boleh banget, kalau papi ada saran ya papi beri... kalau nggak ada ya cuma papi dengarkan.”

“adek bilang-bilang kalau ada masalah, biar capeknya nggak melebihi batas kayak tadi itu. paham cinta? kan sudah papi dan daddy bilang, kalau ada masalah apapun bilang ke kami. nanti kalau misalnya masalahnya itu karena adek sendiri terus adek nggak sadar? nggak bisa introspeksi tuh. ngerti adek?” nasihat jisung.

“iya papi, paham...” lirih ala.

“sudah sekarang tidur ya cintanya papi daddy, biar besok seger,” ucap jisung. badannya masih setia dia goyangkan kanan kiri, sekarang sambil jalan keliling kamar—persis seperti tidurkan bayi.

“pengen sarapan french toast.”

“siap, besok papi masakin.”

“makasih papi, i love you.”

i love you more, princess.”

—fin.

setelah tau kalau jisung sudah ada di bangunan yang sama dengannya, chenle langsung lari ke ruangan di sebelahnya.

“KOK NGGAK NGABARIN?!” seru chenle bersamaan dengan pintu kamarnya yang dia buka.

“heiii berisik bi. kata mama lo kerja ya nggak mau gue ganggu, nanti nggak selesai-selesai,” jelas jisung. kedua tangannya dia rentangkan, “sini.”

chenle yang diberi rentangan tangan langsung bergegas nubruk tubuh sahabatnya yang daritadi sudah asik rebahan.

“sudah selesai belum kerjaannya?” tanya jisung setelah posisi chenle nyaman di pelukannya.

“sudah.”

“stres ya lo? resign aja sana,” ujar jisung.

“pala lo resign, gue bosnya anjing!” seru chenle kesal sambil mukul bahu jisung rada kencang.

jisung meringis kemudian ngusap bahunya yang jadi korban pukulan chenle, “brutal amat cinta.”

“capeekkk!” keluh chenle. wajahnya dia usak kasar di dada jisung. “ah jelek lo!” makinya tiba-tiba bersamaan dengan wajahnya yang juga diangkat.

“bocah tantrum. dah tidur yuk tidur,” kata jisung sambil bawa kepala chenle menyandar ke dadanya lagi.

“pengen ke magelang lagi,” lirih chenle. selimut yang daritadi cuma nyelimutin tubuh jisung dia tarik supaya tubuhnya juga tertutup kain itu. “pengen pak aceng,” lanjutnya.

“widih bocah magelang banget tuh pak aceng,” ejek jisung. ruangan yang tadi menyala terang sekarang jadi temaram karena lampu yang sudah jisung matikan.

“ya enak kok,” balas chenle.

jisung tertawa pelan kemudian elus lembut rambut kesayangannya itu, “ya besok waktu liburan ya.”

“eh gum,” panggil chenle.

“apa?”

“lo kangen sunoo nggak? jujur,” tanya chenle tiba-tiba.

“tiba-tiba amat lo,” kata jisung. dia eratkan rengkuhannya di pinggang chenle sebelum cium lembut kepala laki-laki itu, “nggak lah, ngapain kangen deh? kenapa sih?”

“nggak tau, tiba-tiba keinget dia. sekarang dia gimana ya?” ujar chenle.

“nggak gimana-gimana,” celetuk jisung.

“idih.”

dengar balasan sahabatnya itu jisung langsung ketawa geli. dia kemudian memiringkan posisinya supaya bisa menatap mata laki-laki di sebelahnya.

“gue sebenernya ke sini mau ngabarin sesuatu. mau dikasih tau sekarang atau besok?” tanya jisung. poni yang sedikit menghalangi mata chenle disampirkan jisung ke belakang telinga laki-laki manis itu.

“ih apaan...” lirih chenle. bibirnya menyebik kesal, padahal tadi sudah ngantuk sekarang jadi nggak napsu tidur. “sekarang aja,” ucapnya final.

“jadi gue ada kerjaan di luar kota, sekitar lima harian. berangkat senin,” kata jisung.

“ih...” lirih chenle lesu. ketika air matanya tiba-tiba mengalir keluar chenle langsung menenggelamkan wajahnya lagi ke dada sang sahabat.

“besok kan sabtu, main yuk?” ajak jisung sambil usap lembut rambut cintanya.

“nggak mau main...” lirih chenle.

“ya terserah vana pokoknya gum sama vana seharian besok,” kata jisung.

“maaf ya... akunya lagi clingy...” sesal chenle sambil hapus air matanya yang mengalir di kedua pipi.

“iya nggak papa, cuma lima hari kok habis itu gum langsung pulang,” balas jisung. “itu gum bawain parfum, nanti kalau kangen semprot aja di bear,” lanjutnya.

“ya...”

kecupan jisung kembali mendarat di kepala chenle, “jangan loyo dong, yang semangat. gumnya pulang kok.”

“padahal kangen banget... malah pamit mau pergi...” keluh chenle.

“iya maaf... kemarin belum sempet mampir,” balas jisung.

“sama.”

“yaudah yuk bobok aja biar besok enak kalau mau ke mana-mana.”

“besok mau cukur kumis gum.”

“yaela.”

“yaela yaela! nggak boleh cium pipi lo awas aja anjing, risih,” ujar chenle kesal sambil menenggelamkan wajahnya ke dada jisung. “ANJING LO YA!” umpat chenle tiba-tiba karena pipinya dicium kasar oleh jisung.

“tanda cinta.”

“pala lo tanda cinta!”

fin—

suara ketuk pintu jam satu dini hari itu buat chenle tolehkan kepalanya secepat kilat. dia masih bangun untuk periksa beberapa berkas pekerjaannya di kamar tidur tamu.

beberapa hari ini chenle terus tidur di rumah jisung tapi pisah kamar karena kasihnya itu sedang batuk parah, kalau bisa dicegah agar chenle tidak tertular kenapa tidak? tapi karena itu pula jisung yang memang dasarnya sudah lesu jadi lebih lesu lagi. lagi sakit maunya dimanja-manja tapi malah seperti dijauhi gini.

malam ini sungguh jisung tidak bisa tidur. bisa sih tidur, tapi beberapa menit kemudian kembali bangun—sangat tidak nyenyak. akhirnya nekat dia ketuk pintu kamar yang chenle tempati malam itu.

“masuk, cinta,” kata chenle setelah menduga kalau yang mengetuk tadi jisung. dahinya berkerut ketika sadar pipi lelaki jangkung di hadapannya sudah berhias air mata.

“sumpah bi nggak bisa tidur, pusing...” rengek jisung dengan suara seraknya. air matanya kembali mengalir ungkap sakit yang dia rasa—ya, fisik dan batin. jisung tangkupkan kedua tangannya, “sekali aja ya...”

chenle cekatan matikan ipadnya dan bereskan kasur. “sini sayang,” perintah chenle sambil bentangkan selimutnya. jisung langsung lari tubruk tubuh chenle. selimut yang tadi dibentang sekarang sudah tutup keduanya hangat.

“maaf ya gummy... besok bobok bareng bibi lagi aja ya? maafin aku ya...” gumam chenle barengi isak tangis jisung yang kembali muncul. “masih panas ya? mau minum obat lagi atau aku kompres?” tawar chenle setelah cek suhu tubuh kasihnya lewat punggung tangan.

“nggak,” jawab jisung yang masih sesenggukan. punggung lebarnya diusap penuh sayang oleh chenle.

“gelasnya gum di kamaar, pindah aja yuk? akunya bobok sana juga kok. yuk? pindah dulu baru bobok lagi.” dengan sayang dia sisir rambut berminyak jisung yang sudah hampir tiga hari tidak bisa sentuh hair. chenle iseng endus bau rambut lelaki di dekapannya, “hii bauuu...”

“jahat,” kata jisung sambil angkat wajahnya.

“iya jahat ini vananya ya? maaf ya...” kata chenle lembut. wajah sendu jisung dia usap lembut. kecupan ringan chenle beri di kening jisung. “nangisnya udahan dong...” keluh chenle sambil tarik lembut kepala jisung buat bersandar kembali di dadanya.

“pegel banget, pusing,” keluh jisung di sela tangisnya.

“mau aku pijetin?” tawar chenle.

kepala jisung gerak kanan-kiri, “nggak. peluk aja.”

“bobok sini aja?” tanya chenle yang dibalas anggukan singkat dari jisung. “tapi vananya ambil obat sama gelas gum dulu, kamunya makin panas minum obat lagi aja,” lanjutnya.

“panasnya nggak turun-turun...” lirih jisung.

“iya, makanya minum obat lagi ya?”

“iya...”

“bentar ya? aku ke kamar sebentar aja, ambil minum sama obat.” chenle lepas peluk jisung perlahan untuk ambil beberapa barang di kamar sendiri.

“sama linen spray-ku bibi,” celetuk jisung sebelum chenle pergi.

“siap, tunggu ya?”

setelah chenle pergi, jisung langsung ubah posisi tidurnya jadi tengkurap. bantal yang samar tercium parfum chenle itu dia hirup baunya.

“yuk mik obat dulu.” celetukan chenle buat jisung ubah posisi tidurnya kembali. perlahan jisung dudukan tubuhnya dan bersandar di kepala ranjang. sodoran gelas dan satu butir obat dari chenle dia terima.

“besok aku cuti deh, sabtu juga yang les sedikit. masih bisa di-handle yang lain,” ujar chenle sambil semprotkan linen spray kesukaan jisung ke bed cover dan selimut.

“udah nggak tega ceritanya ini,” ejek jisung. gelas di tangannya dia taruh ke nakas samping kasur.

“iya duh kasian banget golden retriever gue sakit sampe nangis-nangis tengah maleem...” ejek chenle sebelum naik ke atas kasur menyusul jisung.

“beneran nggak masuk besok?” tanya jisung pelan. tubuhnya perlahan dia gerakkan untuk menyandar pada tubuh yang lebih kecil.

“iya,” jawab chenle yakin. dia usap lembut pipi kasihnya yang kini sudah sandarkan kepala di dadanya. “bobok sekarang,” lanjutnya.

“besok kalau masih nggak turun panasnya kita ke rumah sakit,” ujar chenle sambil usap rambut jisung.

“hm... tadi bingung nggak aku nangis-nangis...?” lirih jisung.

chenle tertawa pelan. dia matikan lampu kamar dan nyamankan tubuh peluk lelaki lain di ruangan. “iya, cengeng banget ah gum sekarang.”

“yakan sakit bi...” rengek jisung.

“aku sakit aja nggak sampe nangis-nangis,” ujar chenle.

“yakan aku temenin!”

“iya deh si paling selalu ada,” ejek chenle. dia mulai pejamkan mata dengan tangannya yang terus usap lembut punggung jisung.

“bi... lo kalau eneg sama gue tinggal aja nggak papa, sebelum nikah,” lirih jisung sambil lepas pelan rengkuhannya di tubuh chenle.

“heh! omongannya!” seru chenle. tubuh jisung dia tarik dan didekap erat. tangannya bergerak pijat lembut tengkuk jisung, “diem, bercanda doang aku. udah, tidur.”

“pengen ikan nila goreng sama sambel terasi.”

“siap yang mulia gumelar, besok akan hamba hidangkan sesuai permintaam yang mulia.”

“sama mau satu paket cium.”

“iya daaah yang haus afeksiiii... maaf ya.”

“iya.”

“gum–”

“tidur, cinta.”

“ya... cepet sembuh ya, ganteng.”

—fin.

cw // harsh words , kissing

jujur, jisung ini lelahnya dan malasnya bukan main. tapi dia akui kalau sudah jarang banget quality time bareng chenle. selalu sibuk dan kalau lagi senggang ya ujung-ujungnya sekadar cuddle di kasur, itupun nggak banyak ngobrol.

jisung rapiin lagi hair dryer yang habis dia pakai ke tempat semula. senyumnya terbit tipis saat baca pesan singkat chenle yang bilang kalau dirinya sudah sampai di depan rumah. segera jisung ngambil dompetnya kemudian ngehampiri sang sahabat.

“malam, bi,” sapanya sembari duduk di kursi penumpang depan.

“hehehe... malaam...” balas chenle sambil cengengesan. dia tuh tau kalau jisung benar-benar malas, tapi gimana dia juga kangen. setelah pelipis lelaki jangkung di sebelahnya chenle kecup lembut dia langsung ngelajuin mobilnya kembali.

“mau ke mana?” tanya jisung saat mobil yang dia tumpangi sudah menjauh dari rumahnya.

“nggak tau deh, muter-muter aja. entar kalau udah laper ke mekdi,” jawab chenle yang jisung tanggapi dengan anggukan singkat.

senyum manis chenle ngembang bersamaan dengan pahanya yang diremas lembut oleh jisung. “kita sekarang jarang quality time,” ujarnya sambil nepuk-nepuk tangan sang sahabat yang ada di pahanya.

“iya, sadar gue,” balas jisung. napasnya dia hembusin pelan sebelum paha polos chenle dia usap lembut. “maaf ya, gue beneran capek ngurusin kerjaan. nggak tau kenapa tapi gue ngerasa kayak dikejar-kejar nikah juga,” lanjutnya.

it's okay, i'm totally understand you,” ujar chenle. dia lirik sekilas lelaki di sebelahnya, “lagi pula gue juga rada sibuk kan sekarang?”

“iya,” lirih jisung. dia tepuk paha chenle sebelum narik tangannya dari sana–nggak mau terlalu mecah konsentrasi chenle, bahaya. “lo pake pendek banget anjrit,” ujarnya kemudian.

“ya lagian kan nggak keluar-keluar,” jelas chenle. “yang liat cuma lo lagian,” lanjutnya.

“oh kayaknya sengaja gitu ya?” goda jisung. wajahnya dia dekatin ke wajah chenle ketika mobil mereka berhenti di lampu merah.

“diem,” kata chenle sambil nyubit kecil tangan sahabatnya.

“sakit woe!”

“makanya jangan aneh-aneh anjing.”

jisung cuma ngedecih pelan nanggapi balasan sahabatnya. matanya sekarang mulai natap suasana jalanan yang mereka lalui di jam 11 malam ini. nggak terlalu lengang, tapi nggak ramai juga.

“bi tau nggak sih?” celetuk jisung yang ditanggapi gumaman dari chenle. “gue pengen mini cooper deh,” lanjutnya.

“gila si monyet ini, malem-malem anjing,” umpat chenle kesal. “minta ayah minta ayah,” ujarnya kemudian dengan nada semangat sambil nepuk-nepuk bahu jisung.

“idiih,” ujar jisung. dia ambil tangan kiri chenle untuk digenggam, “eh tapi ayah ngado nikahan kita katanya ini, tanah.”

“eh tapi katanya mama juga mau kasih tanah,” balas chenle. “katanya mau kasih di surabaya,” lanjutnya.

“jadiin kos nggak sih kalau beneran? ayah tuh ada tanah di magelang, katanya itu yang mau dikasih,” ujar jisung.

chenle ngangguk-ngangguk paham, “gue kepikirannya buka kafe deh?”

“boleh tuh. liat dulu lebih strategis yang mana lokasinya,” jawab jisung.

“dah laper,” lirih chenle.

“belum makan?” tanya jisung yang dengar suara lirih dari laki-laki di sebelahnya itu.

“udah, akhir-akhir ini gue sering banget laper deh. kenapa ya?” tanya chenle.

“gue waktu kuliah dulu pernah tanya pertanyaan yang sama kayak lo ke ayah. dimarahin gue, gini katanya. kamu tuh goblok apa gimana sih tau sendiri kegiatan dari pagi sampe pagi lagi tapi makannya sedikit, mana sering kelupaan. ya iyalah cepet laper, tenagamu itu kebuang jadi makan yang banyak,” jawab jisung sambil niruin perkataan ayah beberapa tahun lalu. chenle respon jawaban jisung dengan tawa renyah.

“cocok tuh,” celetuk chenle setelah tawanya reda.

“cocok apa?” tanya jisung bingung dengan konteks celetukan sahabatnya.

“dah cocok jadi ayah,” jelas chenle.

“belum lah,” sanggah jisung. “gue masih perlu banyak belajar, gue bahkan belum mulai belajar. pengetahuan gue mungkin aja bisa dibilang masih nol besar,” jelasnya kemudian.

chenle anggukan kepalanya tanda paham, “mungkin dua sampe tiga tahun lagi gue juga baru siap.”

“menurut lo kalau udah adopsi, mending masuk sekolah internasional atau negeri aja?” tanya jisung nyambungin percakapan ke topik lain.

“jujur gue tuh lebih suka lingkungan negeri mungkin karena smp sma gue negeri ya, lebih hemat juga menurut gue,” jawab chenle. “tapi masalah pendidikan ya menang inter nggak sih? lebih terjamin. tapi ya gitu, harus siap finansialnya,” lanjutnya.

“setuju, gue juga mikirnya gitu,” balas jisung. “tapi kalau sma, gue pikir kitanya harus tanya dulu ke doi kuliah mau masuk negeri atau swasta. kalau mau masuk negeri better sma juga ambil negeri,” lanjut jisung.

“misal kalau kuliahnya dia mau study abroad gimana?” tanya chenle.

“ya terserah sih, nggak tau respon gue besok hahaha... kayak kalau dilogika sih ya terserah doi, tapi kan sekarang gue nggak ada ikatan secara emosional juga jadi belum kebayang,” jelas jisung. “menurut lo, besok kalau udah ada anak. gue bakal jadi bapak yang kayak gimana?” tanya jisung.

“bentar,” jawab chenle sambil belokkin mobilnya ke arah salah satu restoran cepat saji yang jadi salah satu tujuan mereka. “lo mau?” tanya chenle.

jisung ngangguk pelan, “big mac.”

okey.

setelah chenle selesai mesan makanan mereka, dia baru mulai ngejawab pertanyaan dari jisung sembari jalanin mobilnya lagi ke tempat pick up pesanan.

“menurut gue lo bakal santai aja sih, santai tapi tetep ada aturan gitu. terus juga lo nggak bakal nuntut banyak hal. you can be our child's best friend, also a great physic and mathematic teacher for them, lumayan nggak usah les,” ujar chenle. “tapi rada traumatik belajar fisika sama lo anjing,” lanjutnya.

“yakan waktu itu lagi bete van astagaa... dibawa-bawa mulu,” sungut jisung.

“ya nggak usah dibentak gitu kali, ngerasa goblok banget gue jadinya,” balas chenle lagi.

ya gitu, waktu sma chenle pernah minta jisung ajarin materi fisika kan. tapi dua-duanya lagi capek, si chenle nggak fokus dan jisung emosian.

“emang anjing, itu tinggal dicoret lo mikir berabad-abad,” kata jisung.

“ya itu gue lagi capek ya, makanya nggak fokus!”

“tapi anak sd aja bisa bi anjrit! itu empat kali dua bagi dua, dua dua coret coret, empat!”

“lo besok bentak anak gue, gue tampar lo,” ancam chenle sebelum ngebuka kaca jendelanya.

“kaos lo si tolol,” umpat jisung waktu chenle majuin tubuhnya untuk ngambil pesanan yang diulurin karyawan. kaos yang sahabatnya pakai itu dia tarik dan tahan bagian lehernya. “celana pendek mampus, kaos kedodoran, agak-agak lo jadi manusia,” omel jisung.

“nyenyenye,” cibir chenle. “mau makan di mana?” tanyanya kemudian.

“terserah,” jawab jisung sembari ngebenahi kaos chenle yang tadi dia tarik supaya tulang selangka laki-laki itu nggak nampak.

“mau di taman komplek rumah lo kejauhan nggak?” tanya chenle.

“gitu mah mending di halaman belakang aja, lebih terang,” jawab jisung.

“yaudah gitu aja mau?” tanya chenle lagi.

“iya.”

“mau kentang, babe,” pinta chenle.

laki-laki jangkung yang lagi minum sodanya langsung ngambil kentang goreng dan es krim di bangku belakang.

“eh ada aa,” celetuk jisung sambil nunjuk satu mobil di depan mereka yang berplat nomor aa. dia julurin satu potong kentang goreng ke depan mulut sahabatnya setelah itu.

“magelang ya?” tanya chenle.

“kedu sih, beda belakangnya doang tapi gue lupa belakang-belakangnya itu,” jawab jisung. “mcflurry-nya mau?” tanya jisung.

chenle ngangguk sekilas sebelum kembali berucap, “kedu tuh mana aja?”

“magelang, wonosobo, temanggung, purworejo,” jawab jisung sambil nyuapin chenle satu sendok es krim.

“eh eh, kalau gue gimana? menurut perspektif lo gue bakal gimana kalau udah jadi orang tua?” tanya chenle ngembaliin percakapan ke topik sebelumnya.

“gimana ya? mungkin lo bakal jadi tipe ayah yang enak banget diajak ngobrol, terus lembut banget apalagi lo pengennya cewek nggak sih? lo sama ningning aja udah kayak gitu,” jawab jisung. “lo kayaknya suka banget sama cewek, gentle juga. kenapa jadi suka cowok sih?” tanyanya setelah itu.

“lah gue nggak pernah cerita?” tanya chenle bingung. yakali masalah ginian nggak pernah cerita, pikirnya.

“nggak tau deh, lupa.”

“jadi tuh, gue kalau sama cowok apalagi sama lo ya. gue yang merasa diayomi, gue yang mereka terlindungi. sedangkan kalau sama cewek, gue yang merasa harus melindungi dan mengayomi. makanya gue sama cewek tuh kayak gitu, even sama somi ryujin pun,” jelas chenle. “bahkan sama daehwi pun gue yang ngerasa aman,” lanjutnya.

“oohhh... iya iya, pernah cerita sih kayaknya. gue aja yang lupa,” ujar jisung sembari nyodorin chenle satu sendok es krim lagi.

“eh kak marka kemarin beli rumah,” celetuk chenle.

“mereka mau nikah nggak sih sebenernya?”

chenle buka mulutnya tanda minta disuapi kentangnya lagi. “nggak tau dah, mumet,” jawab chenle setelah nerima suapan dari sang sahabat.

“sebenernya lo prefer anak laki atau perempuan?” tanya chenle setelahnya.

“terserah yang penting doi ketawa tiap gue genjrengin gitar, entar gue cek satu-satu di panti,” jawab jisung. “bi! anjir lo,” umpat jisung ketika kepalanya ditoyor tiba-tiba sama laki-laki di sebelahnya.

“lo aneh.”

“daya tariknya di situ.”

“pembohongan publik.”

“babi diem.”


“iiih lo pasang fairy lights-nya kapan?” tanya chenle antusias.

sekarang keduanya sudah sampai di rumah jisung dan langsung menuju ke halaman belakang setelah masukin mobil.

“kemarin,” jawab jisung singkat.

halaman belakang rumah jisung memang didesain kayak taman yang seperempat bagiannya dikasih atap biar kalau mau nongkrong di sana nyaman. nah baru kemarin itu jisung pasangi fairy lights supaya suasananya nggak terlalu monoton.

“sini makan,” ajak jisung yang daritadi sudah duduk di salah satu kursi. “nama menu appetizer-nya giovana,” ujar jisung saat chenle malah ngedudukin tubuh di pangkuannya.

“mulutnya,” gumam chenle sambil naruh makanan mereka di meja. “gue kangen lo,” ucapnya kemudian. tubuh besar si lelaki jangkung dia rengkuh erat.

“eyy... kemarin kan juga ketemu sayangku,” balas jisung. rengkuhan dari chenle dia balas sama eratnya. bibirnya bubuhkan banyak kecup di kepala chenle.

“udah lama nggak ngobrol, beda rasanya,” jelas chenle. dia kecupi lembut daerah leher dan rahang milik yang lebih muda. “kangen banget tau...” lirihnya.

“masih kangen?” tanya jisung. punggung cintanya dia usap lembut, ngasih afeksi yang nggak dia kasih secara intens beberapa waktu terakhir.

“masih!” seru chenle sambil negakin posisi tubuhnya.

jisung keluarkan tawa kecilnya, wajah manis chenle dia tangkup. “gimana dong?” tanyanya.

“makasih ya,” ujar chenle sambil jelajahi wajah kesayangannya dengan jari-jari.

“apaan coba?” tanya jisung dengan kekehan di akhirnya.

“masih bareng-bareng gue, keren banget sih lo nggak nyerah sama gue,” jelas chenle. bibirnya ngebentuk senyum manis, ngasih tau kalau sekarang dia bahagia.

“manis banget sih, sayangnya siapa ini?” ujar jisung sambil ngusap bibir chenle lembut.

“sayangnya gumelar,” jawab chenle mantap. jawabannya dapat tawa renyah dari jisung sebelum bibirnya dikecup gemas oleh laki-laki itu.

jisung benahi duduknya kemudian dekatin wajahnya ke wajah chenle. hidung chenle dia usak pelan dengan hidung bangir itu.

“nggak pernah mau gue lepas lo. gue nggak bisa percaya sama orang lain buat jadi partner lo,” lirih jisung sambil tatap dalam mata coklat manis itu.

“ya emang gue percaya orang lain?”

“iya ya? nggak tau gue.”

“ah nyebelin,” kata chenle. wajahnya dia jauhin dari wajah jisung.

jisung ngekeh geli sebelum tarik tengkuk chenle ngedekat, “bercandaa.”

“ya.”

bibir jisung kecup gemas pipi tembam chenle sebelum kembali tatap mata laki-laki itu. “i love you. sumpah, kadang gue sampe ngerasa kalau kalimat gue cinta lo tuh nggak cukup,” lirih jisung. jari-jarinya konstan usap lembut pinggang chenle, entah sejak kapan tangannya sudah berada di balik kaos laki-laki itu. “i love you,” lanjutnya sebelum mulai kecup lembut bibir manis chenle.

chenle lebarkan senyum manisnya kembali saat sadar jisung sudah mejamin matanya. laki-laki manis itu ambil inisiatif gerakin bibir lebih dulu sesaat sebelum tutup matanya. kuluman lembut chenle beri di bibir bawah jisung.

bukan ciuman penuh napsu, cuma ciuman pengingat, pengingat kalau hadir keduanya itu nyata. ciuman penuh harap, semoga masih banyak kesempatan bagi keduanya untuk kembali nikmati seperti ini. ciuman bahagia pula, bahagia karena masih bisa hadir di kehidupan masing-masing.

jujur, takut akan ditinggalkan kadang lewat di pikiran jisung dan chenle. takut gimana kalau sebenarnya dunia ternyata nggak berpihak pada mereka. takut salah satu dari mereka goyah.

tapi momen yang mereka ciptain tanpa rencana kayak gini bisa bikin mereka sadar. sadar kalau nggak ada yang mau ngelepas maupun ninggalin.

kecupan dalam dari jisung beri sebagai penutup ciuman mereka malam ini. chenle beri jarak sedikit antar wajah mereka. jemarinya sentuh pipi jisung, diusap lembut pipi halus milik sahabatnya. chenle kecup sekali lagi bibir milik kasihnya itu. “i love you more,” lirih chenle.

jisung keluarin kekehannya lagi sembari ngusap lembut punggung chenle.

“akhirnya pulang,” lirih chenle sambil nyandarin kepalanya di bahu jisung.

“ya lo nggak pindah-pindah,” balas jisung dengan nada gemas. pundak laki-laki di pangkuannya yang sudah terekspos banyak itu dia kecupi lembut.

chenle hela napasnya kasar, “masih mau sama mama papa.”

“iya, udah yuk makan.”

chenle turun dari pangkuan sahabatnya kemudian pindah duduk di kursi yang lain.

“gue nginep deh,” ujar chenle sambil ngambil burger miliknya.

“ya iyalah babi, udah tengah malem gila aja pulang,” omel jisung sambil nepuk pipi sahabatnya agak keras.

“nyenyenye, besok jemput berarti,” kata chenle. makanannya dia sodorin ke depan mulut jisung.

“lo selesai jam berapa?” tanya jisung sebelum ngegigit burger yang chenle sodorin.

“jam enam sih, gue ngajar sampe jam enam,” jawab chenle.

jisung ngangguk paham, “gue tunggu di kantor lo berarti, gue selesai jam empatan kayak biasa.”

“nanti langsung ke gue aja kalau lo udah selesai,” kata chenle. “cemong banget om,” ledek chenle sambil bersihin mulut jisung yang kotor.

“lagi caper soalnya dek,” ujar jisung

chenle ngangguk-ngangguk, “oalah omnya lagi haus afeksi ternyata.”

“iya dek. kamu cinta nggak dek sama om?”

“iya om, adek cinta sama om.”

“anjing jijik!”

“lo kalau nggak bisa jaga suasana mending diem si anjing.”

“siap salah kak.”

“pagii bayi monyeet!” seru chenle yang baru aja masuk ke kamar jisung–on the way jadi kamar chenle juga sebenarnya.

“rajin banget lo udah masak,” balas jisung sembari naruh hapenya di nakas.

“ya biarin aja,” ujar chenle. tubuhnya dia baringkan perlahan di atas tubuh jisung. “cuci muka dulu sana,” perintah chenle sambil bersihin kotoran mata sahabatnya itu.

“udah ya, udah gosok gigi juga,” ujar jisung.

“masih ada beleknya hiii,” kata chenle. setelahnya chenle ngerebahin kepala di dada jisung sambil mainin jari laki-laki jangkung itu.

“ayo mam,” ajak jisung.

“beneran mau disuapin?” tanya chenle sembari ngedudukin tubuhnya di atas perut jisung.

tawa pelan keluar dari mulut jisung, “boleh.”

“yaudah ayo,” ujar chenle kemudian. dia nundukin tubuhnya lagi untuk ngecup bibir jisung sekilas sebelum turun dari atas tubuh laki-laki itu. chenle berniat buat keluar lebih dulu tapi tiba-tiba tubuhnya diangkat dari belakang oleh jisung. “kaget anjing!” protes chenle saat kakinya juga diangkat.

“ah berat banget kalau bridal style, ganti koala aja, turun,” keluh jisung ngabaiin protesan sahabatnya. dia nurunin tubuh chenle kemudian langsung digendong lagi ala koala.

“anak gym kok nggak kuat gendong gue,” ejek chenle. “sakit anjing!” umpat chenle sambil mukul tangan jisung yang cubit pahanya, mana dicubit kecil.

“makanya nggak usah nantangin,” gerutu jisung. dia segera ngambil satu piring dan mangkuk saat sampai di dapur. “gue jadiin satu aja ya?” tanya jisung.

“iya.”

selagi jisung ngambil sarapan mereka, chenle ngulurin tangannya buat ngambil nampan yang ada di lemari atas.

“cukup gum,” interupsi chenle supaya jisung nyudahi acara naruh nasi ke piring mereka. setelahnya jisung ngisi mangkuk kosongnya dengan sup yang sudah chenle buat. “by the way, makasih udah beliin oven juga,” ujar chenle.

anything for you,” balas jisung sambil nolehin kepalanya ke arah chenle.

chenle senyum geli dengar balasan dari jisung kemudian nyentil pelan hidung bangir milik laki-laki itu. nampan yang sudah diisi dengan sarapan mereka chenle angkat. “ke ruang tengah,” perintah chenle kemudian.

“pengen nonton fin,” ujar jisung.

“marcyyyy!” seru chenle yang ditanggapi tawa gemas jisung.

“turun dulu, takutnya tumpah,” perintah jisung saat langkahnya berhenti di ruang tengah. chenle kemudian turun dari gendongan jisung dengan hati-hati. nampan yang ada di tangannya fia taruh di meja dan duduk di depan meja itu.

setelah nyalain tv dan mutar kartun yang mereka pengen tonton, chenle langsung pindah duduk di pangkuan jisung.

“maaam!” seru chenle antusias.

piring berisi nasi yang mereka bawa dari dapur chenle ambil. laki-laki itu langsung asik nyuapin jisung sampai lupa makan sendiri.

“van, makan juga jangan lupa. gue belum lihat lo nyuap nasi ke mulut sendiri,” ujar jisung.

chenle ketawa pelan, “lo lahap banget seneng lihatnya. enak?”

“enak,” jawab jisung dengan anggukan semangatnya.

“mam yang banyak, gue suka lihat lo makin mbul,” kata chenle setelah nyuap satu sendok penuh nasi beserta lauknya ke mulut jisung. kali ini nggak lupa dia juga nyuap sarapannya ke mulut sendiri.

“lo juga dong, masa gue doang,” ujar jisung.

“gue udah tembeeem yaaa,” balas chenle. jisung ketawa gemas kemudian ngecup pipi laki-laki itu gemas. “lo jangan defisit kalori dong sampe kita nikah...” lirih chenle.

“kenapa emangnyaa?” tanya jisung geli. “nanti kalau berat gue melonjak, sulit turunnya. kalau gue diet kan lo makin nggak suka?” lanjutnya.

“iya sih... tapi mau nikahnya sama gumbul nggak mau sama gumelar,” jawab chenle.

“padahal lo suka abs gue.”

“ya iya...”

“jadinya mau sama gumbul atau gumelar?”

“sama ravendra aja, paling seksi.”

“ANJIIING!”

tw // trauma , anxiety attack written in bahasa indonesia baku 1,8K words

throwback, saat chenle belum bertemu dengan dokter sama sekali. traumanya masih benar-benar kental dan belum ada pertolongan apapun dari pihak profesional.

waktu itu dia di rumah sendiri dan hujan. bodoh memang. hari itu dia lupa baca prakiraan cuaca dan tidak sadar kalau langit sudah menunjukkan tanda-tanda akan hujan karena terlalu sibuk dengan tugasnya. jisung sendiri juga sedang sibuk mengerjakan tugas di rumahnya sendiri.

saat hujan malam itu perlahan turun, perlahan tubuhnya juga ikut menegang. pikirannya kosong, terlalu terkejut tiba-tiba turun hujan. setelah sadar apa yang terjadi, dengan tubuhnya yang sudah bergetar dia paksakan untuk bangkit. langkah kakinya dia cepatkan ke arah kamar mandi untuk mengambil tabung oksigen portabel miliknya.

sialnya petir tiba-tiba menyambar padahal baru setengah jalan menuju kamar mandi baru chenle lalui. karena tidak kuat dengan suara petir yang setelahnya malah semakin semangat bersautan, chenle putuskan untuk dudukkan tubuhnya. telinga dia tutup serapat yang dia bisa hanya bermodalkan telapak tangannya sendiri.

“gumelar takut…” lirih chenle. kehadirannya serasa dikepung saat ini, napasnya makin sulit, dadanya sesak. chenle sudah menyerah, dia keluarkan semua ketakutannya dengan tangisan dan rintihan. masa bodoh kalau parahnya nanti kesadarannya terenggut untuk sementara karena napasnya yang makin berat. benar saja sekitar dua puluh menit chenle bertarung dengan dirinya sendiri akhirnya kesadarannya direnggut. semoga jisung datang malam ini, bukan besok pagi.


tidak nyaman, sedaritadi jisung tidak nyaman hanya untuk melanjutkan tugasnya. dia mendesah frustasi karena bingung sendiri dirinya kenapa.

umpatan keluar dari mulut jisung saat daerah rumahnya diguyur hujan. sekarang pukul setengah sebelas malam dan kemungkinan kalau daerah rumah chenle sudah diguyur hujan lebih cepat sangat besar. jisung cepat-cepat menghubungi sahabatnya itu dengan kaki yang terus dia hentakkan ke lantai. beribu umpatan keluar dari mulut pemuda jangkung itu saat pesan-pesan yang dia kirim tidak direspon sampai dua puluh menit.

jisung segera menyambar kunci motor dan dompetnya. buru-buru dia keluar dari kamarnya.

“bunda!” seruannya terhenti saat yang dipanggil ada di depan kamarnya dengan wajah panik. “iya ini ke vana,” ujar jisung sembari berlari kecil ke arah garasi.

“perasaan bunda nggak enak,” kata bunda. wanita paruh baya itu mengikuti anak semata wayangnya ke garasi.

“sama,” balas jisung. jas hujannya dia kenakan secepat mungkin dan bergegas membuka pintu garasi.

“hati-hati sayang,” ucap bunda saat anaknya sedang mengeluarkan motor. jisung tidak acuhkan sementara ucapan bunda, pagar rumahnya dia buka cepat dan kembali ke motornya di depan garasi.

“iya bunda,” balas jisung kepada ucapan bundanya tadi. “nanti aku kabarin ya, tenang,” lanjutnya. bunda anggukan kepalanya pelan.

“aku titip pintu ya nanti tolong tutupin mbak is,” kata jisung.

“iya,” balas bunda. dia lambaikan tangannya pelan, “hati-hati.”

“iya bunda, aku pergi,” kata jisung dan setelahnya dia melajukan motornya cepat.

sepanjang jalan umpatan terus dia suarakan karena sumpah petir banyak menyambar malam ini. beruntung jalanan sudah lumayan lengang jadi jisung sampai di rumah chenle lebih cepat.

saat sampai di rumah sahabatnya, pagar rumah chenle dia buka kasar dan langsung memarkirkan motornya di halaman. dia lepas jas hujannya sembarang sebelum berlari ke arah pintu utama. umpatannya lagi-lagi keluar saat kunci yang dia punya tidak bisa masuk. dia asumsikan kalau sahabatnya itu lupa melepas kunci yang tertancap dari dalam.

jisung putar otaknya cepat supaya dia segera bisa masuk ke dalam. kalau mau didobrak nanti tidak bisa ditutup kembali, apalagi saat ini hari sudah malam.

“pintu belakang pintu belakang,” gumam jisung sambil berlari ke arah pagar yang jadi penghalang halaman depan dan halaman belakang di rumah chenle. dia panjat pagar itu, beruntung memang pagar itu tidak terlalu tinggi dan mudah dipanjat. “van lo kuat lo kuat,” gumamnya sepanjang perjalanannya menuju pintu belakang.

sudah masa bodoh kalau sebagian tubuhnya basah kuyup karena dia harus ke halaman belakang. jisung langsung buka pintu belakang yang tersambung ke dapur dan berhasil. helaan lega jisung keluarkan karena akhirnya dia bisa masuk. pintu yang dia buka tadi langsung ditutup kembali sebelum berlari ke arah kamar sahabatnya.

“VAN! FUCK!” umpat jisung keras karena matanya benar-benar menangkap bagaimana tubuh chenle jatuh karena kesadarannya terenggut. jisung melepas kaos basahnya sebelum mengangkat tubuh lemas chenle untuk dibaringkan di kasur. “permisi, sayang,” izin jisung sebelum melepas beberapa kancing teratas piyama yang chenle gunakan. posisi kaki chenle dia tinggikan dengan beberapa bantal. jisung cek detak jantung pemuda itu untuk memastikan keadaan.

“giovana, giovana,” panggil jisung sambil menepuk pipi pemuda itu. “sayang, gumelar ini,” panggilnya lagi masih berusaha untuk menyadarkan sahabatnya. helaan napas leganya dia keluarkan lagi saat chenle membuka matanya perlahan.

“duduk,” perintah jisung lembut. dia bantu chenle untuk mendudukkan tubuhnya.

“peluk,” pinta chenle pelan yang langsung jisung kabulkan. “takut…” lirih chenle sambil tenggelamkan wajahnya di dada jisung.

“maaf ya sayang, maaf, maaf, maaf,” gumam jisung. dia eratkan rengkuhannya di tubuh chenle, sesekali memberi kecupan di pelipis pemuda itu.

tidak banyak kata keluar dari mulut keduanya. malam ini sunyi, hanya ditemani ketakutan chenle dan sentuhan dari jisung. aman dan nyaman yang chenle butuhkan segera terpenuhi dengan hadirnya jisung saat ini. sama halnya dengan jisung. jantungnya yang tadi berdetak tak beraturan perlahan mulai berdetak secara teratur lagi.

“dingin,” keluh chenle pelan ketika perasaannya sudah lebih nyaman.

“maaf, ini rada basah guenya. kaos gue basah makanya gue lepas,” jawab jisung.

chenle renggangkan pelukan mereka, “ehm? lo ke sini pake motor?”

“iya, tapi pakai jas hujan kok,” jawab jisung dengan kekehan di awalnya. “tadi lari ke pintu belakang makanya kena hujan,” jelasnya kemudian.

“oh? gue lupa cabut kunci, maaf ya…” lirih chenle.

“nggak papa,” balas jisung. dia tangkup pipi chenle, mata sayu itu dia tatap lembut. “udah, gumelarnya di sini,” ujar jisung sambil usap pipi putih itu.

baby…” lirih chenle.

hm?” gumam jisung. dia terkekeh pelan sebelum memberi kecupan dalam di dahi chenle.

wajah jisung ditangkup tangan yang lebih mungil. ibu jari chenle mengusap pelan mata sahabatnya yang sedikit berair, dia tahu kalau jisung menahan untuk menangis. “mau nangis? nangis aja...” lirih chenle. gelengan dari sahabatnya dia terima. chenle kembangkan senyum manisnya tanggapi gelengan dari jisung, “maaf ya bikin panik.”

“nggak masalah,” balas jisung. dia usap lembut dahi chenle sebelum dikecup lagi. “sesek nggak?” tanya jisung setelahnya.

chenle mengangguk pelan, “sedikit.”

“gue ambilin oksigen lo bentar,” kata jisung. dia lepas rengkuhannya kemudian berlalu cepat ke kamar mandi untuk mengambil tabung oksigen portabel milik chenle, sekalian menaruh kaos basahnya di kamar mandi dan mengganti celananya yang juga basah sebagian. jisung langsung berikan benda itu ketika dia kembali. jisung usap rambut pemuda di hadapannya ketika dahi chenle mengkerut karena hujan yang terdengar lebih deras. 

“mau ke ruang tengah aja? minum teh manis yuk?” ajak jisung saat chenle menaruh tabung oksigennya di nakas.

“iya—”

chenle tarik pinggang jisung dan sembunyikan wajahnya di perut pemuda itu karena petir yang kembali menyambar.

“nggak mau tidur di kamar,” lirih chenle.

“tidur di sofa depan tv aja oke?” tawar jisung yang ditanggapi anggukan oleh chenle. tawa kecil jisung keluarkan, “oke ayoo!”

dia angkat tubuh sahabatnya kemudian meraih selimut yang akan jadi penghangat mereka malam ini.

“gum…” panggil chenle.

“ya?” balas jisung lembut. selimut yang dia ambil tadi sekarang tersampir di pundaknya. jisung tolehkan kepalanya ketika selimut yang tadi hanya menutupi sebagian tubuhnya sekarang ditarik chenle sehingga seluruh tubuh bagian atas keduanya tertutup. 

“dingin nanti,” cicit chenle. pipinya dia sandarkan di kepala sahabatnya masih dengan kedua tangan yang memegang selimut tebal itu agar tidak jatuh.

“cium dulu dong,” ujar jisung sambil memiringkan kepalanya. tawa gemas dari jisung menggema ketika pipi kanan pemuda itu dikecup lembut oleh chenle. “lesgo minum teh maniis!” serunya kemudian melangkah keluar menuju dapur. lampu kamar chenle tidak lupa juga dimatikan sebelum kaki jisung benar-benar membawa mereka pergi.

jisung cekatan membuat satu cangkir teh manis hangat saat sampai di dapur. dia dudukan tubuh chenle di kursi meja makan agar chenle bisa menikmati tehnya lebih nyaman.

“sayang,” panggil jisung yang hanya dibalas gumaman oleh chenle. “berani sendirian di sini nggak? gue mau masukin motor ke garasi sebentaar aja,” tanyanya.

“iya nggak papa, mau gimana?” jawab chenle. dia berikan senyum tipisnya ke jisung, “sana. gue nggak papa.”

jisung mengangguk pelan, “oke. sebentar ya, gue ngebut.”

“iyaa…” balas chenle geli.

jisung berlari cepat ke garasi setelahnya, chenle yang menyaksikannya hanya tertawa kecil. dia habiskan cepat tehnya dan langsung membawa gelas kosongnya ke tempat cuci piring. setelahnya chenle segera berlalu ke ruang tengah dengan selimut di pundaknya.

“gum,” panggil chenle saat sahabatnya muncul dari arah garasi.

“oh, udah selesai minum tehnya? habis?” tanya jisung. chenle hanya anggukan kepalanya. sisi sofa yang masih kosong ditepuknya, memberi perintah halus ke jisung untuk duduk di situ.

“gum,” panggil chenle lagi.

“apa siiih? sini baringan,” balas jisung sembari menata bantal sofa supaya nyaman sebagai alas kepalanya berbaring. 

jisung tarik pinggang chenle pelan supaya tubuh keduanya bisa lebih dekat. yang lebih jangkung membaringkan tubuhnya lebih dahulu kemudian baru disusul chenle. pundak jisung digunakan sebagai tumpuan kepala chenle berbaring malam ini.

pelukan saling mereka beri guna beri nyaman lebih banyak untuk masing-masing. tangan chenle memeluk erat leher pemuda jangkung itu sedangkan tangan jisung sudah merangkul nyaman bahu chenle. pinggang dan punggung chenle sesekali jisung usap lembut.

“lo telanjang dada gini nggak papa?” tanya chenle pelan.

“nggak papa lah,” jawab jisung dengan kekehan geli di akhir kalimat. dia tarik meja yang ada di sebelah mereka mendekat. “gue nyebat ya?” izin jisung.

“iya.”

dengan persetujuan yang didapat, jisung langsung mengambil satu batang rokok dari kotak rokoknya yang tadi dia taruh di meja. dia bakar ujung rokok yang sudah diapit di bibirnya itu.

anxious?” celetuk chenle.

jisung mengangguk kecil, “banget. sekarang udah nggak, tinggal sedikit.”

“maaf ya? gue lupa baca prakiraan cuaca,” ucap chenle. tulang selangka pemuda jangkung itu chenle kecup lembut.

it's okay, gue juga lupa. nggak papa, kecelakaan,” kata jisung kemudian menghisap rokoknya.

chenle tatap dalam wajah tampan pemuda jangkung itu. dia akui kalau sahabatnya ini terlihat lebih tampan kalau sedang merokok. entah mengapa cara jisung menghisap rokok dan menghembuskan asapnya sangat menarik di mata chenle, orang lain pasti juga akan setuju.

jisung palingkan kepalanya sebelum menghembuskan asap rokok dari dalam mulutnya supaya tidak mengenai wajah chenle. “udah ngantuk belum?” tanya jisung. dia tatap mata chenle yang juga menatapnya dari tadi. senyum tipis jisung kembangkan sembari merapikan poni pemuda itu.

“belum, mau nemenin lo nyebat aja,” jawab chenle.

jisung tertawa pelan, “tiga batang boleh?”

“boleh, lo kayaknya cemas banget. gue rasa lo butuh semua yang lo butuhin,” jawab chenle. dia tepuk dada polos itu sebelum bersandar di situ.

“emang apa aja yang gue butuhin?” tanya jisung setelah menghembuskan asap rokoknya lagi.

“rokok, sama gue,” jawab chenle pelan.

jisung tertawa pelan. benar jawaban yang chenle sampaikan, rokok dan pemuda manis di dekapannya. “kalau lo apa?” tanya jisung kemudian.

“cuma elo doang, lo semuanya buat gue,” jawab chenle. dia hembuskan napasnya kemudian kembangkan senyum tipis, “ibaratnya lo tuh all in one gitu. bisa jadi adik, kakak, sahabat, sering gantiin posisi mama papa juga, jadi babu—”

“anjing.”

chenle ketawa kemudian mendongak untuk melihat ekspresi pemuda jangkung itu. “jadi babu banyak pahalanya tau,” katanya.

“nggak peduli yang pasti gue nggak nerima gaji,” protes jisung.

“gaji mulu lo bahas. itu cinta-cinta gue gaji buat elo,” kata chenle.

jisung mendecih sebelum membalas sahabatnya, “dih, cinta nggak bikin gue kenyang.”

“dih.”

jisung tertawakan wajah masam chenle. rokoknya yang sisa setengah dia tekan ke asbak untuk mematikan benda itu.

“udahan?” tanya chenle.

“mau bobok aja sama giovana,” jawab jisung. dia tarik kepala chenle ke dadanya. “giovana menang kalau lawan rokok lah,” lanjutnya.

“dasar,” gumam chenle dengan decihan di akhir. pemuda itu memberi kecupan dalam di bahu jisung.

goodnight boy, thank you.”

kemarin jisung jatuh dari sepeda saat bersepeda dengan chenle sore hari. alhasil lututnya dapat luka agak lebar dan pipinya dapat luka kecil.

suasana hati chenle jadi tidak baik karena kecelakaan kecil hari kemarin. dia paling benci kalau sahabatnya itu dapat luka. rasanya seperti chenle tidak bisa menjaga pemuda itu padahal jisung selalu menjaga dia.

“jangan cemberut mulu dong,” ujar jisung saat chenle sedang mengobati luka di lututnya sore ini di balkon.

“masih sakit nggak?” tanya chenle.

jisung terkekeh pelan kemudian mengangguk, “iya masih.”

“maaf ya,” lirih chenle. pandangannya sekarang teralih ke wajah tampan jisung. “pipinya sekarang,” ucapnya.

“gue pangku yuk sini,” ajak jisung sambil menepuk pahanya. dia tertawa gemas saat chenle malah makin melengkungkan bibirnya ke bawah. “sini ah, cemberut mulu,” perintah jisung setelahnya.

setelah menghela napasnya kasar, akhirnya chenle bangkit dari duduknya untuk berpindah ke pangkuan jisung. dia nyamankan posisinya dengan hati-hati takut mengenai luka di lutut jisung.

“jangan cemberut terus dong,” celetuk jisung saat chenle sudah kembali fokuskan atensi ke dirinya.

“nggak suka liat lo luka,” ucap chenle.

“kenapa emangnya? wajar kan ada kecelakaan? memang guenya yang nggak hati-hati tapi kan udah kejadian,” kata jisung. pipi putih chenle dia usap lembut dengan tatapan yang tidak dia palingkan dari mata pemuda di pangkuannya. jisung kembangkan senyum tipisnya kemudian hidung milik chenle dia cubit gemas. “jangan lama-lama deh jengkelnya. kasian guenya dong dicemberutin mulu,” ujarnya sembari terkekeh pelan.

chenle cibir pelan pemuda jangkung itu kemudian kembali ke kegiatannya semula. setelah luka di pipi jisung selesai diberi obat, jari chenle bermain di atas wajah pemuda tersebut.

“ngapain sih?” tanya jisung saat bibirnya ditarik-tarik pelan oleh chenle. “sini cium pipinya,” ujar jisung sambil menekan lembut pipi chenle.

“nggak boleh nanti kena lukanya,” tolak chenle.

“nggak, sini pelan-pelan,” bujuk jisung. dia tarik pelan tengkuk chenle guna mendekatkan pipi pemuda itu ke bibirnya. kecupan lembut jisung beri di pipi kiri chenle. “yang kanan,” gumam jisung sebelum pipi kanan chenle juga dia beri kecupan ringan.

“dah, cemberutnya udahan yaa?” bujuk jisung. mata milik chenle dia usap lembut sebelum dia beri kecupan juga.

chenle menghela napasnya penat. “besok lagi hati-hati,” ujar chenle sambil menyandarkan kepalanya tepat di sebelah kepala jisung.

“iya sayang, maaf ya bikin khawatir,” balas jisung. pipi yang tidak memiliki luka dia tumpukan ke kepala pemuda yang lebih tua. jisung hampiri punggung chenle dengan usapan lembutnya. celana pendek yang chenle pakai dia tarik pelan supaya bisa lebih menutupi paha putih itu. pantat chenle dia beri tepukkan pelan setelah itu.

“kangen koko...” gumam chenle. matanya yang sudah memberat sedaritadi karena angin sore makin memberat karena usapan-usapan jisung. “gumelar aku panggil koko sehari aja boleh nggak?” cicit chenle sebelum matanya benar-benar tertutup.

“kangen bener-bener jadi adik lo ya?” gumam jisung. tangannya merengkuh pinggang chenle lebih erat. “lo kena angin sedikit kenapa langsung merem sih,” gumam jisung sambil terkekeh geli.

jisung nikmati sorenya dengan chenle yang tertidur di pangkuan. dia bergelut dengan pikirannya sendiri ditemani dengkuran halus dari chenle.

saat dirasa angin berhembus makin kencang jisung memilih untuk membangunkan chenle. kalau kakinya tidak kenapa-napa pasti langsung dia gendong pemuda manis itu masuk ke dalam dengan nyaman. saat ini dia tidak bisa berdiri tegak, takut nantinya kalau dia paksakan untuk menggendong chenle malah terjadi hal tidak mengenakkan.

“sayang, bangun yuk? bangun sebentar pindah kamar. anginnya udah kenceng,” kata jisung lembut. dia usap lembut rambut chenle, “bangun sebentar sayang. gue lagi nggak bisa gendong lo.”

“apa...?” lirih chenle sembari membuka matanya perlahan.

jisung kecup lembut ujung hidung chenle, “bangun sebentar. pindah kasur, udah dingin.”

chenle bergumam pelan sebelum akhirnya bangkit perlahan dari pangkuan jisung. dia berlalu ke dalam kamar dan langsung menjatuhkan dirinya di kasur, meninggalkan jisung yang masih duduk di balkon.

“dasar bocah.”

sentuhan dan beberapa paragraf cerita.

kemarin jisung jatuh dari sepeda saat bersepeda dengan chenle sore hari. alhasil lututnya dapat luka agak lebar dan pipinya dapat luka kecil.

suasana hati chenle jadi tidak baik karena kecelakaan kecil hari kemarin. dia paling benci kalau sahabatnya itu dapat luka. rasanya seperti chenle tidak bisa menjaga pemuda itu padahal jisung selalu menjaga dia.

“jangan cemberut mulu dong,” ujar jisung saat chenle sedang mengobati luka di lututnya sore ini di balkon.

“masih sakit nggak?” tanya chenle.

jisung terkekeh pelan kemudian mengangguk, “iya masih.”

“maaf ya,” lirih chenle. pandangannya sekarang teralih ke wajah tampan jisung. “pipinya sekarang,” ucapnya.

“gue pangku yuk sini,” ajak jisung sambil menepuk pahanya. dia tertawa gemas saat chenle malah makin melengkungkan bibirnya ke bawah. “sini ah, cemberut mulu,” perintah jisung setelahnya.

setelah menghela napasnya kasar, akhirnya chenle bangkit dari duduknya untuk berpindah ke pangkuan jisung. dia nyamankan posisinya dengan hati-hati takut mengenai luka di lutut jisung.

“jangan cemberut terus dong,” celetuk jisung saat chenle sudah kembali fokuskan atensi ke dirinya.

“nggak suka liat lo luka,” ucap chenle.

“kenapa emangnya? wajar kan ada kecelakaan? memang guenya yang nggak hati-hati tapi kan udah kejadian,” kata jisung. pipi putih chenle dia usap lembut dengan tatapan yang tidak dia palingkan dari mata pemuda di pangkuannya. jisung kembangkan senyum tipisnya kemudian hidung milik chenle dia cubit gemas. “jangan lama-lama deh jengkelnya. kasian guenya dong dicemberutin mulu,” ujarnya sembari terkekeh pelan.

chenle cibir pelan pemuda jangkung itu kemudian kembali ke kegiatannya semula. setelah luka di pipi jisung selesai diberi obat, jari chenle bermain di atas wajah pemuda tersebut.

“ngapain sih?” tanya jisung saat bibirnya ditarik-tarik pelan oleh chenle. “sini cium pipinya,” ujar jisung sambil menekan lembut pipi chenle.

“nggak boleh nanti kena lukanya,” tolak chenle.

“nggak, sini pelan-pelan,” bujuk jisung. dia tarik pelan tengkuk chenle guna mendekatkan pipi pemuda itu ke bibirnya. kecupan lembut jisung beri di pipi kiri chenle. “yang kanan,” gumam jisung sebelum pipi kanan chenle juga dia beri kecupan ringan.

“dah, cemberutnya udahan yaa?” bujuk jisung. mata milik chenle dia usap lembut sebelum dia beri kecupan juga.

chenle menghela napasnya penat. “besok lagi hati-hati,” ujar chenle sambil menyandarkan kepalanya tepat di sebelah kepala jisung.

“iya sayang, maaf ya bikin khawatir,” balas jisung. pipi yang tidak memiliki luka dia tumpukan ke kepala pemuda yang lebih tua. jisung hampiri punggung chenle dengan usapan lembutnya. celana pendek yang chenle pakai dia tarik pelan supaya bisa lebih menutupi paha putih itu. pantat chenle dia beri tepukkan pelan setelah itu.

“kangen koko...” gumam chenle. matanya yang sudah memberat sedaritadi karena angin sore makin memberat karena usapan-usapan jisung. “gumelar aku panggil koko sehari aja boleh nggak?” cicit chenle sebelum matanya benar-benar tertutup.

“kangen bener-bener jadi adik lo ya?” gumam jisung. tangannya merengkuh pinggang chenle lebih erat. “lo kena angin sedikit kenapa langsung merem sih,” gumam jisung sambil terkekeh geli.

jisung nikmati sorenya dengan chenle yang tertidur di pangkuan. dia bergelut dengan pikirannya sendiri ditemani dengkuran halus dari chenle.

saat dirasa angin berhembus makin kencang jisung memilih untuk membangunkan chenle. kalau kakinya tidak kenapa-napa pasti langsung dia gendong pemuda manis itu masuk ke dalam dengan nyaman. saat ini dia tidak bisa berdiri tegak, takut nantinya kalau dia paksakan untuk menggendong chenle malah terjadi hal tidak mengenakkan.

“sayang, bangun yuk? bangun sebentar pindah kamar. anginnya udah kenceng,” kata jisung lembut. dia usap lembut rambut chenle, “bangun sebentar sayang. gue lagi nggak bisa gendong lo.”

“apa...?” lirih chenle sembari membuka matanya perlahan.

jisung kecup lembut ujung hidung chenle, “bangun sebentar. pindah kasur, udah dingin.”

chenle bergumam pelan sebelum akhirnya bangkit perlahan dari pangkuan jisung. dia berlalu ke dalam kamar dan langsung menjatuhkan dirinya di kasur, meninggalkan jisung yang masih duduk di balkon.

“dasar bocah.”